SELAMAT DATANG DI DUNIA GUBRAK!!!

Gubrak Indonesia

Jumat, 25 Maret 2011

Hikayat Aceh


Hikayat adalah sebuah karya sastra Aceh berbentuk puisi atau syair. Istilah ‘hikayat’ berasal dari bahasa Arab ‘hikayah’ yang bermakna ‘cerita’. Di sini perlu kita garisbawahi bahwa ada perbedaan pengertian antara istilah hikayat dalam bahasa Melayu dengan hikayat dalam Bahasa Aceh. Dalam bahasa Melayu, hikayat merupakan narrative prosa (serupa dengan haba dalam bahasa Aceh atau seperti novel dalam sastra modern), sedangkan dalam bahasa Aceh, hikayat berbentuk puisi atau syair.
Hikayat merupakan jenis karya sastra Aceh yang terbesar, baik dilihat dari jumlah dan keluasan cakupan isinya. Hingga saat ini belum diketahui secara pasti berapa jumlah hikayat Aceh yang pernah ada (pernah diciptakan dan/atau pernah ditulis) dan yang masih ditemukan hari ini. Umumnya hikayat pada awalnya diciptakan dalam tradisi lisan, dihafal oleh penciptanya dan oleh orang-orang yang sudah terbiasa mendengarnya. Begitulah tradisi ini berlangsung turun temurun dalam masyarakat Aceh. Upaya penulisan hikayat biasanya dilakukan oleh orang lain yang bukan penciptanya. Akan tetapi ada beberapa hikayat yang memang ditulis sejak awal penciptaannya oleh penciptanya sendiri, meskipun kemudian sering disalin kembali dan dilakukan penambahan di sana-sini oleh orang lain. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita menemukan beberapa pengarang dari suatu hikayat dan kadang-kadang cukup sulit bagi kita untuk mendapatkan informasi siapa pengarang aslinya. Ini kebiasaan yang berlaku dalam budaya tradisi lisan.
Hikayat Aceh memuat berbagai aspek kehidupan, mulai dari kisah-kisah pribadi hingga berbagai jenis epik. Fungsi dan posisi hikayat dalam bidang agama tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai kebiasaan yang telah berkembang dari dulu. Bahwa masyarakat Aceh dalam kurun sejarah yang cukup panjang amat menyenangi karya sastra semacam hikayat. Baik orang-orang besar, apakah tua maupun muda, laki-laki ataupun perempuan, semuanya tergila-gila kepada hikayat.
Melihat kandungan isinya, secara umum hikayat-hikayat Aceh dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yakni jenis epik dan jenis non-epik.

Hikayat-Hikayat Epik

Epik merupakan narasi panjang tentang cerita kepahlawanan. Epik dapat berbentuk syair-syair panjang yang biasanya memuat kisah-kisah perjuangan seseorang pahlawan dan pejuang yang heroik. Para ahli teori sastra barat seperti John Peck & Martin Coyle (1984) mengatakan bahwa epik merupakan jenis puisi yang paling ambisius (‘the most ambitious kind of poem’). Epik adalah karya sastra besar yang senantiasa menampilkan event-event sejarah dan legendaris yang bersifat universal dan nasional (Mc.Arthur, 1992:876).
Dalam karya sastra bahasa Aceh, epik dapat dibagi menjadi empat kelompok, yakni, epik sejarah, epik perang, epik keagamaan, dan epik roman dan legenda. Akan tetapi pengelompokan ini tidak bisa dilakukan atas dasar satu garis pemisah yang terang, dan di sana-sini musti terdapat duplikasi dan overlapping. Hal ini dapat terjadi oleh karena dalam suatu hikayat ditemukan beberapa unsur kandungan. Misalnya, dalam epik perang terdapat kandungan dan muatan sejarah, demikian juga unsur-unsur keagamaan terdapat dalam epik sejarah.

Epik sejarah

Epik Perang

Epik Keagamaan

Epik Roman dan Legenda

Merupakan kelompok yang terbesar dan paling banyak jumlahnya dibandingkan dengan ketiga kelompok terdahulu. Yang paling termasyhur dalam kelompok ini adalah:

Hikayat-Hikayat Non-Epik

Pada umumnya karya-karya non-epik lebih singkat dan pendek. Berbeda dengan jenis epik, kebanyakan hikayat non-epik merupakan karya tulis: artinya proses penciptaannya dari semula memang dirancang dalam bentuk teks tulisan. Karya-karya non-epik dapat dibagi menjadi lima kelompok seperti di bawah ini:


Kelompok Agama/Moral

Dalam jenis non-epik, kelompok agama/moral inilah yang paling besar dan paling banyak jumlahnya. Karya hikayat dalam kelompok ini terdiri dari berbagai topic, ada yang berkenaan dengan hokum-hukum agama, cerita-cerita akhirat (termasuk tentang nikmat surga dan azab neraka), serta kata-kata nasihat dan peringatan. Yang paling terkenal dalam kelompok ini diantaranya

Kelompok Kritik Sosial

Dalam kelompok ini kita temukan berbagai karya yang kandungannya memuat maksud penulis untuk memberikan kritik dan protes terhadap bermacam-macam kejadian dalam masyarakat kita yang mengandung muatan negatif dan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Diantara hikayat yang tergolong ke dalam kelompok ini ialah:

Kisah Pribadi

Dalam karya-karya hikayat yang tergolong ke dalam kelompok ini, kita dapati isinya memuat tentang pengalaman pribadi seseorang yang telah dituangkan ke dalam bentuk hikayat dengan harapan dapat menjadi pelajaran bagi orang lain. Hikayat-hikayat ini menyerupai autobiografi dalam sastra modern. Mungkin cukup menarik untuk dibaca atau didengarkan bacaannya karena memuat berbagai pengalaman hidup dari figure tokoh-tokoh masyarakat kita yang hidup di zaman yang berbeda.
Salah satu karya yang dapat digolongkan ke dalam kelompok ini adalah hikayat Ranto, karya Leubè Isa yang juga terkenal dengan nama Teungku Bambi. Di sini Teungku Bambi mengisahkan pengalaman hidupnya di rantau, yakni di daerah perkebunan lada di pantai barat Aceh pada masa pendudukan Belanda. Selain itu, kita jumpai hikayat Seumangat Atjeh (Abdullah Arief, 1956) di mana penulisnya mengabadikan pengalaman kepergiannya ke luar negeri, yakni ke Canada. Ada lagi hikayat Ana Wahiya (Teungku Hasan Ibrahim Bireuen) yang mengisahkan pengalaman hidupnya sejak masa kecil.

Kelompok Sejarah

Dalam kelompok ini kita jumpai karya-karya seperti:

Kisah-Kisah Perumpamaan Binatang

Kelompok ini agak kecil dan tidak banyak jumlahnya. Yang terkenal di antaranya ialah:
http://acehpedia.org/Hikayat_Aceh

Bahasa Jawa Banyumasan (Bahasa NGAPAK)

Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak Ngapak adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah, Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan.
Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.
Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.
Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.


Sejarah

Menurut para pakar bahasa, sebagai bagian dari bahasa Jawa maka dari waktu ke waktu, bahasa Banyumasan mengalami tahap-tahap perkembangan sebagai berikut:
  • Abad ke-9 - 13 sebagai bagian dari bahasa Jawa kuno
  • Abad ke-13 - 16 berkembang menjadi bahasa Jawa abad pertengahan
  • Abad ke-16 - 20 berkembang menjadi bahasa Jawa baru
  • Abad ke-20 - sekarang, sebagai salah satu dialek bahasa Jawa modern.
    (Tahap-tahapan ini tidak berlaku secara universal)
Tahap-tahapan perkembangan tersebut sangat dipengaruhi oleh munculnya kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang juga menimbulkan tumbuhnya budaya-budaya feodal. Implikasi selanjutnya adalah pada perkembangan bahasa Jawa yang melahirkan tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya feodal ini tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah Banyumasan. Itulah sebabnya pada tahap perkembangan di era bahasa Jawa modern ini, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara bahasa Banyumasan dengan bahasa Jawa standar sehingga di masyarakat Banyumasan timbul istilah bandhekan untuk merepresentasikan gaya bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa wetanan (timur).
Menurut M. Koderi (salah seorang pakar budaya & bahasa Banyumasan), kata bandhek secara morfologis berasal dari kata gandhek yang berarti pesuruh (orang suruhan/yang diperintah), maksudnya orang suruhan Raja yang diutus ke wilayah Banyumasan. Para pesuruh ini tentu menggunakan gaya bahasa Jawa standar (Surakarta / Yogyakarta) yang memang berbeda dengan bahasa Banyumasan.

Rumpun Bahasa Jawa Bagian Barat

Terdapat 4 sub-dialek utama dalam Bahasa Banyumasan, yaitu Wilayah Utara (Tegalan), Wilayah Selatan (Banyumasan), Wilayah Cirebon - Indramayu (Cirebonan) dan Banten Utara.
Wilayah Utara
Dialek Tegalan dituturkan di wilayah utara, antara lain Tanjung, Ketanggungan, Larangan, Brebes, Slawi, Moga, Pemalang, Surodadi dan Tegal.
Wilayah Selatan
Dialek ini dituturkan di wilayah selatan, antara lain Bumiayu, Karang Pucung, Cilacap, Nusakambangan, Kroya, Ajibarang, Purwokerto, Purbalingga, Bobotsari, Banjarnegara, Purwareja, Kebumen serta Gombong.
Cirebon - Indramayu
Dialek ini dituturkan di sekitar Cirebon, Jatibarang dan Indramayu. Secara administratif, wilayah ini termasuk dalam propinsi Jawa Barat.
Banten Utara
Dialek ini dituturkan di wilayah Banten utara yang secara administratif termasuk dalam propinsi Banten.
Selain itu terdapat beberapa sub-sub dialek dalam bahasa Banyumasan, antara lain sub dialek Bumiayu dan lain-lain.

Kosakata

Sebagian besar kosakata asli dari bahasa ini tidak memiliki kesamaan dengan bahasa Jawa standar (Surakarta/Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik.
Banten Utara Cirebonan & Dermayon Banyumasan Tegal, Brebes Pemalang Solo/Jogja Indonesia
kita kita/reang/ingsun/isun inyong/nyong inyong/nyong nyong aku aku/saya
sire sira rika koen koe kowe kamu
pisan pisan banget nemen/temen nemen/temen/teo tenan sangat
keprimen kepriben/kepriwe kepriwe kepriben/priben/pribe keprimen/kepriben/primen/prime/priben/pribe piye/kepriye bagaimana
ore ora/beli ora ora/belih ora/beleh ora tidak
manjing manjing mlebu manjing/mlebu manjing/mlebu mlebu masuk
arep arep/pan arep pan pan/pen/ape/pak arep akan

Perbandingan kosakata Banyumasan dengan bahasa Jawa baku

  • Inyong >>> aku (bandingkan dengan bahasa Jawa Kuna ingwang dan Jawa Pertengahan ingong)
  • Gandhul >>> pepaya
  • Rika >>> kamu
Dialek Banyumasan Jawa baku Indonesia
agèh ayo
ayo
ambring sepi sepi
batir kanca teman
bangkong kodok katak
bengel mumet mumet
bodhol rusak rusak
brug kreteg jembatan
bringsang sumuk panas
gering kuru kurus
clebek kopi kopi
londhog alon pelan
druni medhit pelit
dhongé/dhongané kudune harusnya
egin isih masih
gableg duwé punya
getul tekan datang
gigal tiba jatuh
gili dalan jalan
gujih rewel rewel
jagong lungguh duduk
kiyé iki ini
kuwé iku itu
letek asin asin
maen apik baik
maregi nyebeli buruk

Tendensi

Baca kegundahan Ahmad Tohari berikut ini:
dalam kenyataan sehari-hari keberadaan basa banyumasan termasuk dialek lokal yang sungguh terancam. Maka kita sungguh pantas bertanya dengan nada cemas, tinggal berapa persenkah pengguna basa banyumasan 20 tahun ke depan? Padahal, bahasa atau dialek adalah salah satu ciri utama suatu suku bangsa. Jelasnya tanpa basa banyumasan sesungguhnya wong penginyongan boleh dikata akan terhapus dari peta etnik bangsa ini. Kekhawatiran belau lainnya: mana bacaan teks-teks lama Banyumasan seperti babad-babad Kamandaka, misalnya, malah lebih banyak ditulis dalam dialek Jawa wetanan. Jadi sebuah teks yang cukup mewakili budaya dan semangat wong penginyongan harus segera disediakan.
Sebuah fakta empiris bahwa penutur asli bahasa Banyumasan (Satria) akan mengalah bila berbicara dengan penutur bahasa wetanan (Satrio). Alasannya, Satria tidak ingin dicap sebagai orang rendahan karena menggunakan bahasa berlogat kasar.
salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan melestarikan dialek Banyumasan adalah dengan menggunakan bahasa tersebut di dalam pergaulan baik waktu orang banyumas berada di daerahnya maupun berada di luar daerah. Selauin itu salah satu usaha yang lain adalah dengan dimasukkannya bahasa Banyumasan ke dalam kurikulum sekolah sebagai muatan lokal.

http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa_Banyumasan