SELAMAT DATANG DI DUNIA GUBRAK!!!

Gubrak Indonesia

Sabtu, 28 Mei 2011

Serat Centhini

Sampul buku "Ringkasan Centini (Suluk Tambanglaras), karya R.M.A. Sumahatmaka terbitan Balai Pustaka
Serat Centhini (dalam aksara Jawa: Serat Centhini-aksara Jawa.png), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.

Penggubahan

Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yaitu yang kemudian akan bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V.
Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji, atau tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi. Berarti masih dalam masa bertahtanya Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana IV mulai bertahta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana V mulai bertahta pada tahun 1748 (Jawa).
Yang dijadikan sumber dari Serat Centhini adalah kitab Jatiswara, yang bersangkala jati tunggal swara raja, yang menunjukkan angka 1711 (tahun Jawa, berarti masih di zamannya Sunan Pakubuwana III). Tidak diketahui siapa yang mengarang kitab Jatiswara. Bila dianggap pengarangnya adalah R.Ng. Yasadipura I, maka akan terlihat meragukan karena terdapat banyak selisihnya dengan kitab Rama atau Cemporet.

Tujuan dan pelaku penggubahan

Atas kehendak Sunan Pakubuwana V, gubahan Suluk Tambangraras atau Centhini ini dimanfaatkan untuk menghimpun segala macam pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada masa itu, yang termasuk di dalamnya keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama. Pengerjaan dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom, dan yang mendapatkan tugas membantu mengerjakannya adalah tiga orang pujangga istana, yaitu:
  1. Raden Ngabehi Ranggasutrasna
  2. Raden Ngabehi Yasadipura II (sebelumnya bernama Raden Ngabehi Ranggawarsita I)
  3. Raden Ngabehi Sastradipura
Sebelum dilakukan penggubahan, ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur, Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama Islam.

Pengerjaan isi

R. Ng. Ranggasutrasna yang menjelajah pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, karenanya ia diperintahkan untuk segera memulai mengarang. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota, bersangkala Paksa suci sabda ji.
Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid satu, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura (sekarang juga bernama Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.
Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebab Pangeran Adipati Anom mengerjakan sendiri keenam jilid tersebut diperkirakan karena ia kecewa bahwa pengetahuan tentang masalah senggama kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.
Setelah dianggap cukup, maka Pangeran Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas dan duabelas) kepada ketiga pujangga istana tadi. Demikianlah akhirnya kitab Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu keseluruhannya menjadi 725 lagu.

Ringkasan isi

Serat Centhini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.
Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.
Gunung Salak, dilihat dari Bogor
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.
Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, salat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.
Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.

Lingkup pengaruh

Karya ini boleh dikatakan sebagai ensiklopedi mengenai "dunia dalam" masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya.
Menurut Ulil Abshar Abdalla, terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis (priyayi) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkan pada syariah sebagaimana yang dibawakan oleh pesantren dan Walisongo. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para pengguh ini untuk mempertentangkannya dengan mitos-mitos khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara "sinkretik" seolah antara alam monoteisme-Islam dan paganisme/animisme Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.
Dr. Badri Yatim MA menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton Majapahit menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep wahyu kedaton, susuhunan, dan panatagama terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang ortodoks.
Serat Centhini terus menerus dikutip dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya, sejak masa Ranggawarsita sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali penerbitan dan memiliki beberapa versi, diantaranya adalah versi keraton Mangkunegaran tersebut.

Kepustakaan

Sunan Pakubuwana VII, yang bertahta dari tahun 1757 sampai 1786, berkenan menghadiahkan Suluk Tambanglaras tersebut kepada pemerintah Belanda. Akan tetapi yang diberikan hanya mengambil dari jilid lima sampai sembilan, dengan menambah kata pengantar baru yang dikerjakan oleh R.Ng. Ranggawarsita III. Kitab tersebut bersangkala Tata resi amulang jalma, yang berarti 1775, dan dijadikan delapan jilid, diberi judul Serat Centhini, yang terdiri dari 280 lagu.
Penerbit PN Balai Pustaka pada tahun 1931 pernah pula menerbitkan ringkasan Serat Centhini, yang dibuat oleh R.M.A. Sumahatmaka, berdasarkan naskah milik Reksapustaka istana Mangkunegaran. Ringkasan tersebut telah dialihaksarakan dan diterjemahkan secara bebas dalam bentuk cerita, yang diharapkan pembuatnya dapat mudah dipahami oleh masyarakat yang lebih luas.

Gubahan kontemporer

Penulisan kembali Centhini dalam bentuk prosa liris dilakukan oleh Elizabeth Inandiak. Bentuk ini dapat dianggap sebagai interpretasi personal karena terdapat perbedaan dengan bentuk kitab aslinya. Sunardian Wirodono mengubah Serat Centhini menjadi trilogi novel dalam bahasa Indonesia (Centhini, 40 Malam Mengintip Sang Pengantin; Centhini, Perjalanan Cinta; dan Cebolang, Petualang Jalang).

http://id.wikipedia.org/wiki/Serat_Centhini

Kontroversi Kitab Darmagandul


Carita adege nagara Islam ing Demak bedhahe nagara Majapahit kang salugune wiwite wong Jawa ninggal agama Buddha banjur salin agama Islam. Gancaran basa Jawa ngoko; Babon asli tinggalane KRT Tandhanagara, Surakarta; Cap- capan ingkang kaping sekawan, 1959; Toko Buku “Sadu-Budi” Sala.
Serat Darmagandul merupakan kitab yang cukup dikenal dalam kesusasteraan Jawa. Tidak sedikit yang menggunakannya sebagai bahan studi sejarah, terutama terkait keruntuhan Majapahit. Serat Darmogandul merupakan serat yang berisi cerita tentang dialog antara tokoh-tokoh pada jaman dulu kala di Indonesia. Dalam serat ini pula didapatkan cerita berubahnya keyakinan Prabu Brawijaya dari agama Buddha beralih ke agama Islam. Akan tetapi karena serat Darmogandul dinilai banyak pihak sebagai naskah yang bermuatan penghinaan terhadap Islam, maka serat tersebut dilarang beredar. Tapi kini kita bisa menemukan serat Darmogandul di banyak blog baik dalam naskah berbahasa jawa, maupun terjemahannya. Untuk terjemahan Darmogandul bisa dilihat disini.
Serat Darmagandul merupakan kitab kontroversial yang mengambil ide cerita dari Serat Babad Kadhiri. Meskipun merupakan hasil plagiasi dari Babad Kadhiri, namun Serat Darmagandul tampaknya ditulis berdasarkan motif tertentu yaitu keberpihakan pengarangnya terhadap pemerintah kolonialis Belanda dan kecenderungan terhadap keberadaan misi Kristen di tanah Jawa. Unsur Kristen dalam Serat ini boleh dikatakan dominan dengan menggunakan simbolisasi wit katvruh dan berbagai cerita yang berasal dari Bibel.
Serat Babad Kadhiri ditulis berdasarkan perintah Belanda. Sedangkan serat Darmagandul menunjukkan wujud apresiasi yang baik terhadap Belanda, bukan dalam pandangan sebagai musuh atau penjajah namun justru sebagai kawan. Mengingat pengarang Darmagandul tidak jelas identitasnya, maka kemiripannya dengan Babad Kadhiri ini jelas menimbulkan sebuah pertanyaan besar. Dapat diduga bahwa Babad Kadhiri yang ditulis atas perintah dari Belanda, kemudian dimanfaatkan untuk membuat Serat Darmagandul dengan tujuan memarginalkan ajaran Islam dan sekaligus memanipulasi sejarah Islam. 
Secara umum buku Darmagandul banyak memiliki kesalahan data dalam mengungkapkan fakta sejarah. Oleh karena itu sulit dipastikan bahwa buku tersebut benar-benar ditulis pada masa peralihan antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak. Bukti lebih kuat justru menekankan bahwa buku tersebut di tulis di era belakangan pasca penjajahan bangsa Eropa di Bumi Nusantara. Oleh karena itu cerita sejarah dalam serat tersebut boleh diabaikan dari kedudukannya sebagai sebuah fakta. 
Buku Darmagandul merupakan tulisan yang sebagian besar mengisahkan tentang keruntuhan kerajaan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak. Dalam versi Darmagandul Majapahit runtuh akibat serangan dari Adipati Demak yang bernama Raden Patah. Sebenarnya Raden Patah masih merupakan putra Prabu Brawijaya, raja Majapahit terakhir, dengan seorang putri dari China. Namun, menurut buku Darmagandul, para ulama yang dipimpin sunan Giri dan Sunan Benang (Bonang) yang tergabung dalam majlis dakwah wali sanga, memprovokasi Raden Patah agar merebut tahta kerajaan dari ayahnya yang masih kafir, karena memeluk agama Budha.
Bujukan para wali berhasil, sehingga pada akhirnya Majapahit dapat dibumi hanguskan dan Prabu Brawijaya berhasil meloloskan diri. Buku darmagandul juga mengupas tentang ‘budi buruk’ para ulama yang oleh Prabu Brawijaya diberi kebebasan untuk berdakwah diwilayah Majapahit, namun pada saat Islam telah menjadi besar mereka berbalik melawan Majapahit dan melupakan budi baik sang raja Brawijaya. Hal ini ditunjukkan dengan ekspresi penulis Darmagandul ketika mengartikan wali adalah walikan (kebalikan). Artinya diberi kebaikan namun membalas dengan keburukan. (ref)
Darmogandul. Di telinga orang ~Jawa pun hal itu terdengar lucu. Tapi buku ini, Serat Darmogandul, memang dimaksud sebagai ejekan yang lucu, yang dikaitkan dengan hal-hal porno. Judul buku fiksi yang mengisahkan masuknya Islam ke Jawa dan runtuhnya Kerajaan Majapahit ini juga menimbulkan gambaran yang tak jauh dari (maa~ kelamin pria. Pada 1920-an, Darmogandul pernah diprotes masyarakat Islam dan Cina ketika pertama kali dimuat dalam sebuah almanak. Darmogandul, yang ditulis dalam bahasa Jawa dan dalam bentuk~ sekar atau puisi Jawa itu, memang mencemooh orang Cina, orang Arab, dan menyerang Islam.
Siapa pengarang Darmogandul, tak jelas. Pada terbitan Dahara Prize memang disebutkan namanya: Ki Kalamwadi. Tapi ini nama samaran (kalam adalah pena, wadi berarti rahasia: “penulis yang merahasiakan namanya”). Pengarang yang sesungguhnya mungkin Raden Budi Sukardi, yang beberapa kali disebut oleh Ki Kalamwadi (pencerita dalam buku itu) sebagai “guru yang dapat dipercaya”. Beberapa ahli juga tak berhasil menemukan nama dan identitas pengarangnya.
Menurut M. Hari Soewarno dalam Serat Darmogandul dan Suluk Gatoloco tentang Islam, pengarangnya adalah Ronggowarsito (1802-1873), sastrawan Jawa terkenal dari Keraton Surakarta. Menurut Simuh, dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Yogya, buku itu ditulis pada zaman Kerajaan Surakarta antara tahun 1755 dan 1881. Tapi doktor yang disertasinya mengenai karya Ronggowarsito Wirid Hidayat Jati itu tidak tahu persis siapa penulisnya.
Dalam pada itu, menurut Prof. Dr. G.W.J. Drewes, dalam The Struggle between Javanism and Islam as Illustrated by the Serat Dermogandul dan Javanese Poems Dealing with or Attributed to the Saint of Bonang, buku itu karangan seorang bangsawan tinggi di Kediri, dan bersumber dari Babad Kediri yang ditulis sekitar 1873.
Sementara itu, menurut Prof. Dr. H.M. Rasjidi, dalam Islam dan Kebatinan, pengarang Darmogandul adalah Pangeran Suryonegoro, putra Hamengku Buwono VII. Menteri Agama RI yang pertama itu ~ yakin bahwa Darmogandul ditulis pada zaman penjajahan Belanda, terbukti dari adanya beberapa kata Belanda seperti kelah (klacht) dan puisi.
Sebelum Dahara Prize menerbitkannya, pada tahun 1954 (sekitar tiga puluh tahun setelah heboh), penerbit buku-buku Jawa di Kediri yang ketika itu sangat terkenal, Tan Koen Swie, sudah menerbitkannya sebagai cetakan kedua. Sampai kini, buku itu hanya dikenal kalangan terbatas: generasi tua dan para ilmuwan yang khusus mempelajari literatur Jawa yang berkaitan dengan paham kebatinan.
Darmogandul memang pernah jadi salah satu acuan para penganut kepercayaan. Tapi, menurut tokoh kejawen almarhum Mr. Wongsonagoro, Darmogandul kemudian tidak menjadi pedoman para penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Isi Darmogandul sebenarnya mengenai penyebaran Islam di Jawa (dari kawasan pesisir utara) dan runtuhnya Kerajaan Majapahit (di pedalaman), yang dituturkan secara fiktif.
Paham keagamaan di dalamnya merupakan cerminan perbenturan nilai setelah datangnya agama baru, juga antara kerajaan pesisir yang Islam dengan kerajaan pedalaman yang masih Budha-Hindu. Orang Jawa, ketika itu, hanya menerima nilai-nilai Islam yang rada-rada cocok dengan paham lama lalu mencampur-adukkannya — yang belakangan melahirkan paham kepercayaan yang sinkretis.
Yang mengundang keresahan masyarakat Islam ialah penyajian pikiran pikiran tentang seks dalam buku itu, yang dipakai sebagai usaha untuk meletakkan “penafsiran” materi ajaran Islam pada kedudukan pornografis — yang tidak lepas dari kerangka pertentangan politik dan budaya antara kedua kerajaan itu, antara “Jawa” dan “Islam”.
Semangat anti-Islam muncul akibat trauma keruntuhan Majapahit yang diserang oleh Raden Patah, putra raja Majapahit Brawijaya V sendiri yang sebelumnya diangkat sebagai adi~pati di Demak. Raden Patah dinilai sebagai anak~ durhaka, apalagi ia sebenarnya bukan “Jawa asli” tapi lahir dari rahim~ ibundanya yang~ berdarah Cina (tepatnya: Campa,Kamboja). Sampai sekarang “kambing hitam” keruntuhan Majapahit adalah Raden Patah.
Padahal, menurut Tardjan Hadidjaja dan Kamajaya dalam Serat Centhini Dituturkan dalam Bahasa Indonesia Jilid I-A, sesungguhnya Raden Patah hanyalah merebut kekuasaan Girindrawardhana, yang sebelumnya telah lebih dahulu memporak-porandakan Majapahit dari dalam. Darmogandul juga melukiskan, meski Brawijaya V akhirnya dibaiat sebagai muslim oleh Sunan Kalijaga “secara lahir batin”, banyak rakyat dipaksa masuk Islam. Ini tentu penilaian sepihak, sebab para wali di Jawa selama ini dikenal sebagai penyebar Islam yang akulturatif.
Seperti digambarkan oleh Dojosantosa dalam buku Unsur Religius dalam Sastra Jawa, meski agama Budha dan Hindu sudah berakar berabad-abad, orang Jawa menerima Islam “dengan senang hati untuk memperkaya peradaban”. Gara-gara protes masyarakat Islam, menurut Anung Tejo Wirawan, ‘dosen sastra Jawa UGM yang meneliti Darmogandul, buku yang kontroversial ini beberapa kali disunat oleh penerbitnya.
Pada terbitan Dahara Prize kali ini, misalnya, pendapat bahwa “babi dan anjing lebih baik dari kambing curian” sudah dihapus. Begitu pula cara penghinaan dengan gaya jarwodosok terhadap Quran. Jarwodosok atau plesedan adalah gaya bahasa dalam penulisan sastra maupun dalam bahasa lisan para pelawak Jawa, dengan mencari persamaan bunyi yang cenderung lucu dan porno.
Dalam Darmogandul (edisi lama), misalnya, disebut syari’at atau sarengat diartikan “kalau sare (tidur) anunya njengat (ereksi)”. Beberapa kata dalam surah al-Baqarah juga dipeleset-pelesetkan. Misalnya, huda dalam huda lilmuttaqien diartikan wuda alias telanjang. Dan banyak lagi. Dalam penelitian itu Anung menemukan, hanya 10% isi buku itu yang menghina Islam atau porno. (ref)
Sementara itu, menurut dosen sastra Jawa UGM yang lain, Dr. Kuntara Wiryamartana, Darmogandul bukanlah sastra Jawa yang punya arus yang kuat. Karena itu, beberapa ilmuwan, termasuk Simuh, kurang setuju buku itu dilarang beredar. “Kalaupun diedarkan secara luas, penerbit hendaknya memberikan pengantar dan catatan, sehingga pembaca mengerti duduk soalnya,” katanya Namun, bagi A.R. Fachruddin, ketua PP Muhammadiyah, betapapun yang 10% itu tetap berarti penghinaan. Mengapa Dahara Prize berani menerbitkannya? “Karena masyarakat kita sudah maju, dan saya yakin umat Islam tidak tersinggung membaca Darmogandul, yang hanya merupakan imajinasi pengarang itu,” ujar Deradjat Harahap, direktur Dahara Prize. Dalam kata pengantar buku itu, pembaca memang diimbau oleh penerjemah (yang tidak menyebutkan namanya) agar kritis, sehingga “tidak gampang terpengaruh oleh isi buku ini”.
Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama Pertama RI, juga pernah menulis dan menerjemahkan Darmogandul yang banyak memuat pelecehan terhadap Islam. Dalam salah satu bait Pangkur-nya serat ini menulis “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”
Ada lagi ungkapan dalam serat ini “Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir. Ia sesungguhnya melakukan zikir salah. Muhammad artinya Makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.”
“Semua makanan dicela, umpamanya masakan cacing, dendeng kucing, pindang kera, opor monyet, masakan ular sawah, sate rase (seperti luwak), masakan anak anjing, panggang babi atau rusa, kodok dan tikus goreng.”
“Makanan lintah yang belum dimasak, makanan usus anjing kebiri, kare kucing besar, bistik gembluk (babi hutan), semua itu dikatakan haram. Lebih-lebih jika mereka melihat anjing, mereka pura-pura dirinya terlalu bersih. “
“Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun dengan tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya.”
“Kalau bersetubuh dengan manusia tetapi tidak dengan pengesahan hakim, tindakannya dinamakan makruh. Tetapi kalau partnernya seekor anjing, tentu perkataan najis itu tidak ada lagi. Sebab kemanakah untuk mengesahkan perkawinan dengan anjing?”(ref)
Mencermati bahwa Babad Kadhiri merupakan produk dari proyek penjajah, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Serat Darmagandul adalah kelanjutan langkah Belanda dalam menjinakkan perlawanan Islam. Pada sekitar 1900-an politik Belanda banyak diarahkan untuk mengantisipasi kekuatan Islam yang dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial (Steenbrink, 1984:241-242). Kebijakannya dilakukan dengan kristenisasi dan pemunculan apa yang disebut sebagai “kaum adat” (Benda, 1980:40-46). Kebijakan politik Belanda pasca 1850-an bukan sekedar bermotif ekonomi, beberapa kasus menunjukkan bahwa imperialisme Belanda adalah manifestasi idealisme yang bersifat politik dan agama (Kartodirdjo,1999:4-5).(ref)
Antara misi Kristen dengan penjajahan Belanda memang satu paket. Dan untuk melakukan pelemahan terhadap Islam yang saat itu begitu gigih melakukan perlawanan terhadap kolonialisme, menghasut dengan membuat cerita-cerita negatif dan melecehkan adalah salah satu cara yang mereka gunakan. Tak tertutup kemungkinan, mereka melakukan politik pecah belah, memukul dengan menggunakan tangan kelompok kebatinan, yang memang sudah dari dulu menyimpan ‘dendam’ dengan umat Islam akibat jatuhnya Mojopahit ke tangan kerajaan Demak…. entahlah.
Terakhir sebuah cuplikkan menarik yang ada dalam Serat Darmogandul pada bagian dialog antara Sunan Kalijaga dengan Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon bisa dibaca disini!
*Sebuah  kompilasi tulisan dari berbagai sumber, sekedar menelusuri hal sedikit dari yang tersirat dan tersurat sebuah serat.

http://ariskuceritaku.blogspot.com/2011/03/tersirat-dari-serat-darmogandul.html

Sabtu, 21 Mei 2011

Sejarah Cirebon



KISAH asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan.
Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723. 
Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.
Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata “Cirebon” berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari “Ci” artinya “air” dan “rebon” yaitu “udang kecil” sebagai bahan pembuat terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik.
Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon. Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, putra Prabu Anggalarang.
Karena Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi puteri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang serta Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih.
Puteri Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Atas anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”, artinya campuran. Bukan hanya etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur.
Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.
Dari perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salahseorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.
Sesudah adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa. Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal Ki Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban larang. Pangeran Cakrabuana mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.
Setelah berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam, menggatikan Syekh Datuk Kahfi.
Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati, puteri Pangeran Cakrabuana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi.
Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali ke Caruban. Di Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.
Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.
Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk bermasalah. Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten?
Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.
Pada masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika Panembahan Ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan oleh cucunya Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan puteri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak tahun 1678, di bawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.
Kota Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo mencoba membuat pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 3 perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabangnya di Cirebon. Pada tahun 1877, di sana sudah berdiri pabrik es, dan pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun pada tahun 1877. Pada awal abad ke-20, Cirebon merupakan salahsatu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda, dengan jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utamanya adalah beras, ikan, tembakau dan gula.***
(Nina H. Lubis (ed.), Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, 2000.)

http://kasepuhan-sundapura.blogspot.com/2009/04/sejarah-cirebon.html

Rabu, 11 Mei 2011

SEJARAH SUMENEP

PENGANTAR
Sejarah Sumenep jaman dahulu diperintah oleh seorang Raja. Ada 35 Raja yang telah memimpin kerajaan Sumenep. Dan, sekarang ini telah dipimpin oleh seorang Bupati. Ada 14 Bupati yang memerintah Kabupaten Sumenep.
Mengingat sangat keringnya informasi/data yang otentik seperti prasati, pararaton, dan sebagainya mengenai Raja Sumenep maka tidak seluruh Raja-Raja tersebut kami ekspose satu persatu, kecuali hanya Raja-Raja yang menonjol saja popularitasnya.
Pendekatan yang kami gunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan historis dan kultural, selain itu kami gunakan juga pendekatan ekonomis, psikologis dan edukatif.

JAMAN PEMERINTAH KERAJAANARYA WIRARAJA
           Arya Wiraja dilatik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama dipimpin oleh Arya Wiraja, banyak kemajuan yang dialami kerajaan Sumenep. Pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraja secara umum dikenal sebagai seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam dan terarah sehingga banyak yang mengira Arya Wiraja adalah seorang dukun.
Adapun jasa-jasa Arya Wiraja :
- Mendirikan Majapahit b ersama dengan Raden Wijaya.
- Menghancurkan tentara Cina/tartar serta mengusirnya dari tanah Jawa.
           Dalam usia 35 Tahun, karier Arya Wiraja cepat menanjak. Mulai jabatan Demang Kerajaan Singosari kemudian dipromosikan oleh Kartanegara Raja Singosari menjadi Adipati Kerajaan Sumenep, kemudian dipromosikan oleh Raden Wijaya menjadi Rakyan Menteri di Kerajaan Majapahit dan bertugas di Lumajang. Setelah Arya Wiraja meninggalkan Sumenep, kerajaan di ujung timur Madura itu mengalami kemunduran. kekuasaan diserahkan kepada saudaranya Arya Bangah dan keratonnya pindah dari Batuputih ke Banasare di wilayah Sumenep juga. Selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya Danurwendo, yang keratonnya pindah ke Desa Tanjung. Dan selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya asparati. Diganti pula oleh anaknya bernama Panembahan Djoharsari. Selanjutnya kekuasaan dipindahkan kepada anaknya bernama Panembahan Mandaraja, yang mempunyai 2 anak bernama Pangeran Bukabu yang kemudian menganti ayahnya dan pindah ke Keratonnya di Bukabu (Kecamatan Ambunten). Selanjutnya diganti oleh adiknya bernama Pangeran Baragung yang kemudian pindah ke Desa Baragung (Kecamatan Guluk-guluk).
PANGERAN JOKOTOLE (Pangeran Secodiningrat III)
           Pangeran Jokotole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460). Jokotole da adiknya bernama Jokowedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng, cicit dari Pangeran Bukabu sebagai hasil dari perkawinan bathin (melalui mimpi) dengan Adipoday (Raja Sumenep ke 12). Karena hasil dari perkawinan Bathin itulah, maka banyak orang yang tidak percaya. Dan akhirnya, seolah-olah terkesan sebagai kehamilan diluar nikah. Akhirnya menimbulkan kemarahan kedua orang tuanya, sampai akan dihukum mati. Sejak kehamilannya, banyak terjadi hal-hal yang aneh dan diluar dugaan. Karena takut kepada orang tuanya maka kelahiran bayi RA Potre Koneng langsung diletakkan di hutan oleh dayangya. Dan, ditemukan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh kerbau miliknya.
            Peristiwa kelahiran Jokotole, terulang lagi oleh adiknya yaitu Jokowedi. Kesaktian Jokotole mulai terlihat pada usia 6 tahun lebih, seperti membuat alat-alat perkakas dengan tanpa bantuan dari alat apapun hanya dari badanya sendiri, yang hasilnya lebih bagus ketimbang ayah angkatnya sendiri. Lewat kesaktiannya itulah maka ia membantu para pekerja pandai besi yang kelelahan dan sakit akibat kepanasan termasuk ayah angkatnya dalam pengelasan membuat pintu gerbang raksasa atas pehendak Brawijaya VII. Dengan cara membakar dirinya dan kemudian menjadi arang itulah kemudian lewat pusarnya keluar cairan putih. Cairan putih tersebut untuk keperluan pengelasan pintu raksasa. Dan, akhirnya ia diberi hadiah emas dan uang logam seberat badannya. Akhirnya ia mengabdi di kerajaan Majapahit untuk beberapa lama.
            Banyak kesuksessan yang ia raih selama mengadi di kerajaan Majapahit tersebut yang sekaligus menjadi mantu dari Patih Muda Majapahit. Setibanya dari Sumenep ia bersama istrinya bernama Dewi Ratnadi bersua ke Keraton yang akhirnya bertemu dengan ibunya RA Potre Koneng dan kemudian dilantik menjadi Raja Sumenep dengan Gelar Pangeran Secodiningrat III. Saat menjadi raja ia terlibat pertempuran besar melawan raja dari Bali yaitu Dampo Awang, yang akhirnya dimenangkan oleh Raja Jokotole dengan kesaktiannya menghancurkan kesaktiannya Dampo Awang. Dan kemudian kekuasaannya berakhir pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh Arya Wigananda putra pertama dari Jokotole.
RADEN AYU TIRTONEGORO DAN BINDARA SAOD
             Raden Ayu Tirtonegoro merupakan satu-satunya pemimpin wanita dalam sejarah kerajaan Sumenep sebagai Kepala Pemerintahan yang ke 30. Menurut hikayat RA Tirtonegoro pada suatu malam bermimipi supaya Ratu kawin dengan Bindara Saod. Setelah Bindara Saod dipanggil, diceritakanlah mimpi itu. Setelah ada kata sepakat perkawinan dilaksanakan, Bindara Saodmenjadi suami Ratu dengan gelar Tumenggung Tirtonegoro.
             Terjadi peristiwa tragis pama masa pemerintahan Ratu Tirtonegoro. Raden Purwonegoro Patih Kerajaan Sumenep waktu mencintai Ratu Tirtonegoro, sehingga sangat membenci Bindara Saod, bahkan merencanakan membunuhnya. Raden Purwonegoro datang ke keraton lalu mengayunkan pedang namun tidak mengenai sasaran dan pedang tertancap dalam ke tiang pendopo. Malah sebaliknya Raden Purwonegoro tewas di tangan Manteri Sawunggaling dan Kyai Sanggatarona. Seperti diketahui bahwa Ratu Tirtonegoro dan Purwonegoro sama-sama keturunan Tumenggung Yudonegoro Raja Sumenep ke 23. Akibatnya keluarga kerajaan Sumenep menjadi dua golongan yang berpihak pada Ratu Tirtonegoro diperbolehkan tetap tinggal di Sumenep dan diwajibkan merubah gelarnya dengan sebutan Kyai serta berjanji untuk tidak akan menentang Bindara Saod sampai tujuh turunan. Sedang golongan yang tidak setuju pada ketentuan tersebut dianjurkan meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke Pamekasan, Sampang atau Bangkalan.
PANEMBAHAN SOMALA
             Bandara Saod dengan isterinya yang pertama di Batu Ampar mempunyai 2 orang anak. Pada saat kedua anak Bindara Saod itu datang ke keraton memenuhi panggilan Ratu Tirtonegoro, anak yang kedua yang bernama Somala terlebih dahulu dalam menyungkem kepada Ratu sedangkan kakaknya mendahulukan menyungkem kepada ayahnya (Bindara Saod). Saat itu pula keluar wasiat Sang Ratu yang dicatat oleh sektretaris kerajaan. Isi wasiat menyatakan bahwa di kelak kemudian hari apabila Bindara Saod meninggal maka yang diperkenankan untuk mengganti menjadi Raja Sumenep adalah Somala. Setelah Bindara Saod meninggal 8 hari kemudian Ratu Tirtonegoro ikut meninggal tahun 1762, sesuai dengan wasiat Ratu yang menjadi Raja Sumenep adalah Somala dengan gelar Panembahan Notokusumo I.
              Beberapa peristiwa penting pada zaman pemerintahan Somala antara lain menyerang negeri Blambangan dan berhasil menang sehingga Blambangan dan Panarukan menjadi wilayah kekuasaan Panembangan Notokusumo I. Kemudian beliau membangun keraton Sumenep yang sekarang berfungsi sebagai Pendopo Kabupaten. Selanjutnya beliau membangun Masjid Jamik pada tahuhn 1763, Asta Tinggi (tempat pemakaman Raja-Raja Sumenep dan keluarganya) juga dibangun oleh beliau.
SULTAN ABDURRACHMAN PAKUNATANINGRAT
               Sultan Abdurrachman Pakunataningrat bernama asli Notonegoro putra dari Raja Sumenep yaitu Panembahan Notokusumo I. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat mendapat gelar Doktor Kesusastraan dari pemerintah Inggris, karena beliau pernah membantu Letnan Gubernur Jendral Raffles untuk menterjemahkan tulisan-tulisan kuno di batu kedalam bahasa Melayu. Beliau memang meguasai berbagai bahasa, seperti bahasa Sansekerta, Bahasa Kawi, dan sebagainya. Dan, juga ilmu pengetahuan dan Agama. Disamping itu pandai membuat senjata Keris. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat dikenal sangat bijaksana dan memperhatikan rakyat Sumenep, oleh karena itu ia sangat disegani dan dijunjung tinggi oleh rakyat Sumenep sampai sekarang.

http://www.sumenep.go.id/