SELAMAT DATANG DI DUNIA GUBRAK!!!

Gubrak Indonesia

Senin, 21 Februari 2011

Kacapi Indung, Simbol Sunda Lama







Sebagaimana telah disampaikan di muka bahwa kacapi indung (dulu disebut kacapi pantun atau kacapi parahu) adalah produk budaya lama yang pada awalnya digunakan dalam pantun Sunda. Pantun Sunda dapat diperkirakan sudah lahir sebelum abad ke-15 M. Dalam naskah kuno Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518) yang dikutip oleh Nia Dewi Mayakania, istilah pantun sudah disebutkan, yaitu dengan ungkapan sebagai berikut: "hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: prepantun tanya" (bila ingin mengetahui pantun: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: tanyalah juru pantun) (Mayakania, 1993: 62). Dapat diduga jenis kesenian ini sudah ada sebelum abad ke-15 Masehi.

Hingga saat ini, belum ada yang mencoba menggali nilai-nilai yang tersembunyi di balik kacapi indung, baik dari segi wujud dan bentuk kacapi indung itu sendiri maupun dari segi simbol-simbol yang terkait dengan peranan musikalitasnya.
Pada umumnya, kacapi indung hanya dikenal sebagai alat musik yang berfungsi untuk mengiringi vokal tembang sunda cianjuran. Padahal, dari bentuk dan wujudnya saja ada hal yang patut dipertanyakan. Mengapa wujud dan bentuk kacapi indung berbeda dari kacapi siter. Kemudian mengapa kacapi indung umumnya berwarna hitam, dan mengapa pula disebut kacapi indung. Pada awalnya, kacapi indung yang juga biasa disebut sebagai kacapi parahu, kacapi gelung, atau kacapi pantun, digunakan pada penyajian pantun untuk mengiringi lagu-lagu yang dibawakan oleh juru pantun.
Namun, karena tembang sunda cianjuran itu sendiri diduga berasal dari pantun maka kacapi pantun (yang sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan kacapi indung) digunakan sebagai salah satu instrumen untuk mengiringi lagu-lagu tembang sunda cianjuran.
Dalam penyajian tembang sunda cianjuran, kacapi indung memiliki peranan yang sangat dominan. Kacapi indung berperan sebagai pemberi rasa laras terhadap penembang (melalui tabuhan narangtang); berperan sebagai pemberi aba-aba terhadap penembang; berperan sebagai penuntun lagu; dan berperan juga sebagai pembawa irama lagu (melalui lagu-lagu panambih).
Lahirnya istilah kacapi indung diperkirakan setelah kecapi ini digunakan dalam konteks tembang sunda cianjuran. Ketika kecapi ini digunakan dalam pantun, tidak dikenal istilah kacapi indung, dan masyarakat Sunda menyebutnya dengan istilah kacapi pantun atau kacapi parahu. Berubahnya nama jenis kecapi ini --yang semula bernama kacapi pantun atau kacapi parahu kemudian menjadi kacapi indung-- sangat terkait dengan peranan dari kecapi itu sendiri yang seolah berperan sebagai ibu.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Sunda, peranan seorang ibu sangat besar, di antaranya sebagai pengatur ekonomi rumah tangga, pembimbing anak-anak, dan pendamping/pendorong bagi kemajuan suaminya. Oleh karena itu, dalam konsep pemikiran orang Sunda, kedudukan seorang ibu sangat dihormati, dan karena kedudukannya ini maka perempuan dimitoskan sebagai "penguasa" seperti tampak pada mitos Dewi Sri dan Sunan Ambu.
Masyarakat Sunda lama (pramodern) yang mata pencahariannya berladang memiliki pola berpikir dualisme secara paradoks. Dari pola berpikir dualisme yang paradoks ini melahirkan konsep berpikir pola tiga yang dapat dibuktikan melalui artefak-artefak budaya Sunda, seperti tampak pada bentuk kujang, bangunan rumah, letak sungai, dan sebagainya. Melihat fenomena seperti ini, penulis merasa tertarik untuk mencoba melihat apakah kacapi indung khususnya, dan tembang sunda cianjuran umumnya, juga dapat mencerminkan pola tiga?
Silogisme
Sebagaimana telah disampaikan di muka bahwa kacapi indung (dulu disebut kacapi pantun atau kacapi parahu) adalah produk budaya lama yang pada awalnya digunakan dalam pantun Sunda. Pantun Sunda dapat diperkirakan sudah lahir sebelum abad ke-15 M. Dalam naskah kuno Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518) yang dikutip oleh Nia Dewi Mayakania, istilah pantun sudah disebutkan, yaitu dengan ungkapan sebagai berikut: "hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: prepantun tanya" (bila ingin mengetahui pantun: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: tanyalah juru pantun) (Mayakania, 1993: 62). Dapat diduga jenis kesenian ini sudah ada sebelum abad ke-15 Masehi.
Oleh karena pantun Sunda sudah lahir sejak sebeum abad ke-15 Masehi, maka kacapi parahu termasuk produk budaya Sunda lama yang kelahirannya tidak jauh berbeda dari pantun. Pada masa sekitar abad ke-15, masyarakat Sunda hidup dengan cara berladang. Masyarakat ladang hidup dengan menanam, memelihara, dan mengembangkan padi dan tanaman lainnya. Menurut Jakob Sumardjo, obsesi masyarakat ladang yaitu "menghidupkan".
Bagaimana kehidupan dapat terus dipelihara? Mereka berusaha mengawinkan pasangan kembar oposisi yang saling bertentangan, tapi saling melengkapi. Dari perkawinan, kehidupan yang baru bisa muncul. Tanaman padi dapat terus hidup kalau ada "perkawinan" antara langit dan bumi. Langit mencurahkan hujannya kepada tanah yang kering. Basah itu asas perempuan dan kering asas lelaki.
Perkawinan antarkeduanya akan menciptakan entitas ketiga, yakni kehidupan di muka bumi. Langit di atas, bumi di bawah, dan kehidupan muncul di tengah-tengah langit dan bumi. Ketiga dunia ini merupakan satu kesatuan yang membuat kehidupan ini tetap ada (Sumardjo, 2006: 72).
Dasar kepercayaan kosmologi manusia peladang ini menjadi landasan cara berpikirnya untuk semua hal, yakni pola tiga. Untuk lebih jelasnya, lihat kutipan berikut ini menurut hasil penelitian Jakob Sumardjo.
Pola tiga bertolak dari kepercayaan dualisme antagonistik segala hal. Misalnya, langit di atas, bumi di bawah; langit basah, bumi kering; langit perempuan, bumi laki-laki; langit terang, bumi gelap. Keduanya terpisah dan berjarak. Pemisahan itu tidak baik karena akan mendatangkan kematian. Pemisahan segala hal yang dualistik antagonistik harus diakhiri, yakni dengan mengawinkan keduanya. Hidup itu dimungkinkan karena adanya harmoni. Syarat hidup adalah adanya harmoni dari dua entitas yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi (Sumardjo, 2006: 73).
Untuk memperjelas fokus tulisan ini, maka perlu dibangun silogisme sebagai berikut.
Premis 1: Masyarakat ladang adalah masyarakat pramodern yang memiliki dasar pemikiran kosmologis pola tiga.
Premis 2: Kacapi pantun atau kacapi indung adalah produk budaya dari masyarakat ladang.
Simpulan: Kacapi pantun atau kacapi indung mengandung dasar pemikiran pola tiga.
Berdasarkan silogisme di atas, maka apakah "pola tiga" sebagai dasar pemikiran masyarakat Sunda pramodern masih tercermin dalam wujud kacapi indung, atau tidak ada.
Pandangan mitologi
Kacapi indung adalah jenis alat musik berdawai (chordophone) berbentuk bar zither yang digunakan untuk mengiringi vokal tembang sunda cianjuran. Kacapi indung memiliki delapan belas utas dawai. Pada bagian ujung sebelah kanan dan kiri kacapi indung terdapat bentuk setengah lingkaran yang menyerupai sanggul (gelung). Pada bagian bawah kacapi indung terdapat lubang resonator yang berfungsi sebagai pengeras bunyi. Di samping itu, lubang resonator juga berfungsi sebagai jalan masuk untuk mengikatkan dawai ke bagian ujung pureut. Sementara di tengah-tengah bagian depan kacapi indung terdapat delapan belas pureut untuk menyetem nada dengan cara memutarkan pureut tersebut ke arah kanan atau kiri. Berdasarkan seluruh uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa silogisme sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, kacapi pantun atau kacapi indung sebagai produk budaya masyarakat ladang yang mencerminkan pola tiga dapat terbukti kebenarannya. (Heri Herdini, Jurusan Karawitan STSI Bandung)*** 

http://www.kasundaan.org/id/index.php?option=com_content&view=article&id=54:kacapi&catid=51:kacapi-suling&Itemid=70

Watak Budaya Sunda







Sunda berasal dari kata Su = Bagus/ Baik, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah dijalankan sejak jaman Salaka Nagara sampai ke Pakuan Pajajaran, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.
Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa namun dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara. Bahkan menurut Stephen Openheimer dalam bukunya berjudul Sundaland, Tatar Sunda/ Paparan Sunda (Sundaland) merupakan pusat peradaban di dunia. Sejak dari awal hingga kini, budaya Sunda terbentuk sebagai satu budaya luhur di Indonesia. Namun, modernisasi dan masuknya budaya luar lambat laun mengikis keluhuran budaya Sunda, yang membentuk etos dan watak manusia Sunda.
Makna kata Sunda sangat luhur, yakni cahaya, cemerlang, putih, atau bersih. Makna kata Sunda itu tidak hanya ditampilkan dalam penampilan, tapi juga didalami dalam hati. Karena itu, orang Sunda yang 'nyunda' perlu memiliki hati yang luhur pula. Itulah yang perlu dipahami bila mencintai, sekaligus bangga terhadap budaya Sunda yang dimilikinya.
Setiap bangsa memiliki etos, kultur, dan budaya yang berbeda. Namun tidaklah heran jika ada bangsa yang berhasrat menanamkan etos budayanya kepada bangsa lain. Karena beranggapan, bahwa etos dan kultur budaya memiliki kelebihan. Kecenderungan ini terlihat pada etos dan kultur budaya bangsa kita, karena dalam beberapa dekade telah terimbas oleh budaya bangsa lain. Arus modernisasi menggempur budaya nasional yang menjadi jati diri bangsa. Budaya nasional kini terlihat sangat kuno, bahkan ada generasi muda yang malu mempelajarinya. Kemampuan menguasai kesenian tradisional dianggap tak bermanfaat. Rasa bangsa kian terkikis, karena budaya bangsa lain lebih terlihat menyilaukan. Kondisi memprihatinkan ini juga terjadi pada budaya Sunda, sehingga orang Sunda kehilangan jati dirinya. 
Untuk menghadapi keterpurukan kebudayaan Sunda, ada baiknya kita melangkah ke belakang dulu. Mempelajari, dan mengumpulkan pasir mutiara yang berserakan selama ini. Banyak petuah bijak dan khazanah ucapan nenek moyang jadi berkarat, akibat tidak pernah tersentuh pemiliknya. Hal ini disebabkan keengganan untuk mempelajari dengan seksama, bahkan mereka beranggapan ketinggalan zaman. Bila dipelajari, sebenarnya pancaran etika moral Sunda memiliki khazanah hikmah yang luar biasa. Hal itu terproyeksikan lewat tradisinya. Karena itu, marilah kita kenali kembali, dan menguak beberapa butir peninggalan nenek moyang Sunda yang hampir.
Ada beberapa etos atau watak dalam budaya Sunda tentang satu jalan menuju keutamaan hidup. Selain itu, etos dan watak Sunda juga dapat menjadi bekal keselamatan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Etos dan watak Sunda itu ada lima, yakni cageur, bageur, bener, singer, dan pinter yang sudah lahir sekitar jaman Salakanagara dan Tarumanagara. Ada bentuk lain ucapan sesepuh Sunda yang lahir pada abad tersebut. Lima kata itu diyakini mampu menghadapi keterpurukan akibat penjajahan pada zaman itu. Coba kita resapi pelita kehidupan lewat lima kata itu. Semua ini sebagai dasar utama urang Sunda yang hidupnya harus 'nyunda', termasuk para pemimpin bangsa.
Cara meresapinya dengan memahami artinya. Cageur, yakni harus sehat jasmani dan rohani, sehat berpikir, sehat berpendapat, sehat lahir dan batin, sehat moral, sehat berbuat dan bertindak, sehat berprasangka atau menjauhkan sifat suudzonisme. Bageur yaitu baik hati, sayang kepada sesama, banyak memberi pendapat dan kaidah moril terpuji ataupun materi, tidak pelit, tidak emosional, baik hati, penolong dan ikhlas menjalankan serta mengamalkan, bukan hanya dibaca atau diucapkan saja. Bener yaitu tidak bohong, tidak asal-asalan dalam mengerjakan tugas pekerjaan, amanah, lurus menjalankan agama, benar dalam memimpin, berdagang, tidak memalsu atau mengurangi timbangan, dan tidak merusak alam. Singer, yaitu penuh mawas diri bukan was-was, mengerti pada setiap tugas, mendahulukan orang lain sebelum pribadi, pandai menghargai pendapat yang lain, penuh kasih sayang, tidak cepat marah jika dikritik tetapi diresapi makna esensinya. Pinter, yaitu pandai ilmu dunia dan akhirat, mengerti ilmu agama sampai ke dasarnya, luas jangkauan ilmu dunia dan akhirat walau berbeda keyakinan, pandai menyesuaikan diri dengan sesama, pandai mengemukakan dan membereskan masalah pelik dengan bijaksana, dan tidak merasa pintar sendiri sambil menyudutkan orang lain.

Sumber: Bapak Eman Sulaeman, Yayasan Hanjuang Bodas, Bogor.

http://www.kasundaan.org/id/index.php?option=com_content&view=article&id=53&Itemid=82

Selasa, 15 Februari 2011

Sejarah Kota Pasuruan

Pasuruan adalah sebuah kota pelabuhan kuno. Pada zaman Kerajaan Airlangga, Pasuruan sudah dikenal dengan sebutan "Paravan" . Pada masa lalu, daerah ini merupakan pelabuhan yang sangat ramai. Letak geografisnya yang strategis menjadikan Pasuruan sebagai pelabuhan transit dan pasar perdagangan antar pulau serta antar negara. Banyak bangsawan dan saudagar kaya yang menetap di Pasuruan untuk melakukan perdagangan. Hal ini membuat kemajemukan bangsa dan suku bangsa di Pasuruan terjalin dengan baik dan damai.

Sejarah Kota Pasuruan

Pasuruan yang dahulu disebut Gembong merupakan daerah yang cukup lama dikuasai oleh raja-raja Jawa Timur yang beragama Hindu. Pada dasawarsa pertama abad XVI yang menjadi raja di Gamda (Pasuruan) adalah Pate Supetak, yang dalam babad Pasuruan disebutkan sebagai pendiri ibukota Pasuruan.
Menurut kronik Jawa tentang penaklukan oleh Sultan Trenggono dari Demak, Pasuruan berhasil ditaklukan pada tahun 1545. Sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Pada tahun-tahun berikutnya terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan.
Pada tahun 1617-1645 yang berkuasa di Pasuruan adalah seorang Tumenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kapoeloengan yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho I. Berikutnya Pasuruan mendapat serangan dari Kertosuro sehingga Pasuruan jatuh dan Kiai Gedee Kapoeloengan melarikan diri ke Surabaya hingga meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Bibis (Surabaya).
Selanjutnya yang menjadi raja adalah putra Kiai Gedee Dermoyudho I yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho II (1645-1657). Pada tahun 1657 Kiai Gedee Dermoyudho II mendapat serangan dari Mas Pekik (Surabaya), sehingga Kiai Gedee Dermoyudho II meninggal dan dimakamkan di Kampung Dermoyudho, Kelurahan Purworejo, Kota Pasuruan. Mas Pekik memerintah dengan gelar Kiai Dermoyudho (III) hingga meninggal dunia pada tahun 1671 dan diganti oleh putranya, Kiai Onggojoyo dari Surabaya (1671-1686).
Kiai Onggojoyo kemudian harus menyerahkan kekuasaanya kepada Untung Suropati. Untung Suropati adalah seorang budak belian yang berjuang menentang Belanda, pada saat itu Untung Suropati sedang berada di Mataram setelah berhasil membunuh Kapten Tack. Untuk menghindari kecurigaan Belanda, pada tanggal 8 Februari 1686, Pangeran Nerangkusuma yang telah mendapat restu dari Amangkurat I (Mataram) memerintahkan Untung Suropati berangkat ke Pasuruan untuk menjadi adipati (raja) dengan menguasai daerah Pasuruan dan sekitarnya.
Untung Suropati menjadi raja di Pasuruan dengan gelar Raden Adipati Wironegoro. Selama 20 tahun pemerintahan Suropati (1686-1706) dipenuhi dengan pertempuran-pertempuran melawan tentara Kompeni Belanda. Namun demikian dia masih sempat menjalankan pemerintahan dengan baik serta senantiasa membangkitkan semangat juang pada rakyatnya.
Pemerintah Belanda terus berusaha menumpas perjuangan Untung Suropati, setelah beberapa kali mengalami kegagalan. Belanda kemudian bekerja sama dengan putra Kiai Onggojoyo yang juga bernama Onggojoyo untuk menyerang Untung Suropati. Mendapat serangan dari Onggojoyo yang dibantu oleh tentara Belanda, Untung Suropati terdesak dan mengalami luka berat hingga meninggal dunia (1706). Belum diketahui secara pasti dimana letak makam Untung Suropati, namun dapat ditemui sebuah petilasan berupa gua tempat persembunyiannya pada saat dikejar oleh tentara Belanda di Pedukuhan Mancilan, Kota Pasuruan.
Sepeninggal Untung Suropati kendali kerajaan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rakhmad yang meneruskan perjuangan sampai ke timur dan akhirnya gugur di medan pertempuran (1707).
Onggojoyo yang bergelar Dermoyudho (IV) kemudian menjadi Adipati Pasuruan (1707). Setelah beberapa kali berganti pimpinan pada tahun 1743 Pasuruan dikuasai oleh Raden Ario Wironegoro. Pada saat Raden Ario Wironegoro menjadi Adipati di Pasuruan, yang menjadi patihnya adalah Kiai Ngabai Wongsonegoro.
Suatu ketika Belanda berhasil membujuk Patih Kiai Ngabai Wongsonegoro untuk menggulingkan pemerintahan Raden Ario Wironegoro. Raden Ario dapat meloloskan diri dan melarikan diri ke Malang. Sejak saat itu seluruh kekuasaan di Pasuruan dipegang oleh Belanda. Belanda menganggap Pasuruan sebagai kota bandar yang cukup penting sehingga menjadikannya sebagai ibukota karesidenan dengan wilayah: Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Bangil.
Karena jasanya terhadap Belanda, Kiai Ngabai Wongsonegoro diangkat menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Nitinegoro. Kiai Ngabai Wongsonegoro juga diberi hadiah seorang putri dari selir Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel, Surabaya. Pada saat dihadiahkan, Raden Ayu Berie dalam keadaan hamil, dia kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Raden Groedo. Saat Kiai Ngabai Wongsonegoro meninggal dunia, Raden Groedo yang masih berusia 11 tahun menggantikan kedudukannya menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Kiai Adipati Nitiadiningrat (Berdasarkan Resolusi tanggal 27 Juli 1751).
Adipati Nitiadiningrat menjadi Bupati di Pasuruan selama 48 tahun (hingga 8 November 1799). Adipati Nitiadiningrat (I) dikenal sebagai Bupati yang cakap, teguh pendirian, setia kepada rakyatnya, namun pandai mengambil hati Pemerintah Belanda. Karya besarnya antara lain mendirikan Masjid Agung Al Anwar bersama-sama Kiai Hasan Sanusi (Mbah Slagah).
Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan ayahnya sesuai Besluit tanggal 28 Februari 1800 dengan gelar Toemenggoeng Nitiadiningrat II. Pada tahun 1809, Toemenggoeng Nitiadiningrat II digantikan oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo dengan gelar Raden Adipati Nitiadiningrat III. Raden Adipati Nitiadiningrat III meninggal pada tanggal 30 Januari 1833 dan dimakamkan di belakang Masjid Al Anwar. Penggantinya adalah Raden Amoen Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar Raden Tumenggung Ario Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887. Kiai Nitiadiningrat I sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat Pasuruan dengan sebutan Mbah Surga-Surgi.
Pemerintahan Pasuruan sudah ada sejak Kiai Dermoyudho I hingga dibentuknya Residensi Pasuruan pada tanggal 1 Januari 1901. Sedangkan Kotapraja (Gementee) Pasuruan terbentuk berdasarkan Staatblat 1918 No.320 dengan nama Stads Gemeente Van Pasoeroean pada tanggal 20 Juni 1918.
Sejak tanggal 14 Agustus 1950 dinyatakan Kotamadya Pasuruan sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa dalam 1 kecamatan. Pada tanggal 21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa. Pada tanggal 12 Januari 2002 terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002, dengan demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Babad_Pasuruan

Minggu, 13 Februari 2011

Tari Cokek


Kata Cokek berasal dari bahasa Cina : Cio Kek, artinya penari dan penyanyi. Tari cokek diiringi musik gambang kromong. Dalam sejarah kesenian Betawi, Cokek merupakan salah satu hiburan unggulan. Selain luas penyebarannya juga dengan cepat banyak digemari masyarakat Betawi kota sampai warga Betawi pinggiran. Pada saat itu hampir setiap diselenggarakan pesta hiburan, baik perayaan jamuan perkawinan hingga pesta pengantin sunat, selalu menampikan Cokek sebagai hiburan untuk para tamu undangan. Selain itu pada perayaan pesta rakyat juga kerap kali menghadirkan para penari Cokek yang selalu mempertunjukan kepiawaiannya menari sambil menyanyi. Kelihatannya kurang lengkap jika penari cokek sekadar menari. Karenanya dalam perkembangan selain menari juga harus pintar olah vokal dengan suara merdu diiringi alunan musik Gambang Kromong.
cokek15Dalam buku “Ikhtisar Kesenian Betawi” edisi Nopember 2003 terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, yang ditulis oleh H. Rachmat Ruchiyat, Drs. Singgih Wibisono dan Drs. H. Rachmat Syamsudin, tidak menyebutkan sejak kapan jenis tarian Cokek itu muncul ke permukaan. Tidak disebutkan pula secara jelas siapa tokoh atau pelaku pertama yang memperkenalkan tarian egal-egol sembari menggoyang-goyangkan pinggulnya yang “kenes”. Tentulah ada kegenitan lain yang dimunculkan oleh para penari tersebut untuk menarik lawan jenisnya, Ditambah kerlingan mata sang penari yang indah memikat para tamu lelaki untuk ikutan ngibing berpasangan di panggung atau pelataran rumah warga. Orang Betawi menyebut Tari Ngibing Cokek. Selama ngibing mereka disodori minuman tuak agar bersemangat. Mirip dengan Tari Tayub dari Jawa Tengah.
cokek24Dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, tari Cokek pada zaman dahulu dibina dan dikembangkan oleh tuan-tuan tanah Cina yang kaya raya. Jauh sebelum Perang Dunia ke II meletus tari Cokek dan musik Gambang Kromong dimiliki cukong-cukong golongan Cina peranakan. Cukong-cukong peranakan Cina itulah yang membiayai kehidupan para seniman penari Cokek dan Gambang Kromong. Bahkan ada pula yang menyediakan perumahan untuk tempat tinggal khusus mereka. Di zaman merdeka seperti sekarang ini, tidak ada lagi yang secara tetap menjamin kehidupan dan kesejahteraan mereka. Walaupun saat ini ditangani  kantor Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, namun cara pembinaannya masih belum maksimal. Sehingga kesenian Cokek sekarang sepertinya berada di ujung tanduk, hidup enggan mati pun tak mau. (Tjok Hendro) www.tamanismailmarzuki.com.
Tari cokek merupakan tari pergaulan dan hiburan. Beberapa penari wanita memberikan selendang kepada tetamu. Pemberian selendang itu sebagai tanda bahwa tamu diajak menari. Penari dan tamu menari saling berhadapan dengan jarak sangat dekat tapi tidak bersentuhan. Penari lebih banyak bergerak di tempat atau maju mundur. Gerakan lain saling membelakangi. Selesai menari tamu yang diajak menari memberikan hadiah uang kepada penari. Dahulu penari cokek memakai busana celana panjang dan kebaya. Rambutnya ditata kepang dua. Kini penari cokek memakai kain batik, kebaya encim atau kebaya biasa dengan rambut terurai lepas.

 http://persada-etnika.com/?p=261

Menelusuri Sejarah Rakai Pikatan dan Munculnya Nama Temanggung


Sejarah Temanggung selalu dikaitkan dengan raja Mataram Kuno yang bernama Rakai Pikatan. Nama Pikatan sendiri dipakai untuk menyebutkan suatu wilayah yang berada pada sumber mata air di desa Mudal Kecamatan Temanggung. Disini terdapat peninggalan berupa reruntuhan batu-bebatuan kuno yang diyakini petilasan raja Rakai Pikatan. Sejarah Temanggung mulai tercatat pada Prasasti Wanua Tengah III Tahun 908 Masehi yang ditemukan penduduk dusun Dunglo Desa Gandulan Kecamatan Kaloran Temanggung pada bulan November 1983. Prasasti itu menggambarkan bahwa Temanggung semula berupa wilayah kademangan yang gemah ripah loh jinawi dimana salah satu wilayahnya yaitu Pikatan. Disini didirikan Bihara agama Hindu oleh adik raja Mataram Kuno Rahyangta I Hara, sedang rajanya adalah Rahyangta Rimdang (Raja Sanjaya) yang naik tahta pada tahun 717 M (Prasasti Mantyasih). Oleh pewaris tahta yaitu Rake Panangkaran yang naik tahta pada tanggal 27 November 746 M, Bihara Pikatan memperoleh bengkok di Sawah Sima. Jika dikaitkan dengan prasasti Gondosuli ada gambaran jelas bahwa dari Kecamatan Temanggung memanjang ke barat sampai kecamatan Bulu dan seterusnya adalah adalah wilayah yang subur dan tenteram (ditandai tempat Bihara Pikatan).
Pengganti raja Sanjaya adalah Rakai Panangkaran yang naik tahta pada tanggal 27 November 746 M dan bertahta selama kurang lebih 38 tahun. Dalam legenda Angling Dharma, keratin diperkirakan berada di daerah Kedu (Desa Bojonegoro). Di desa ini ditemukan peninggalan berupa reruntuhan. Di wilayah Kedu juga ditemukan desa Kademangan. Pengganti Rakai Panangkaran adalah Rakai Panunggalan yang naik tahta pada tanggal 1 april 784 dan berakhir pada tanggal 28 Maret 803. Rakai Panunggalan bertahta di Panaraban yang sekarang merupakan wilayah Parakan . Disini ditemukan juga kademangan dan abu jenasah di Pakurejo daerah Bulu. Selanjutnya Rakai Panunggalan digantikan oleh Rakai Warak yang diperkirakan tinggal di Tembarak. Disini ditemukan reruntuhan di sekitar Masjid Menggoro dan reruntuhan Candi dan juga terdapat Desa Kademangan. Pengganti Rakai warak adalah Rakai Garung yang bertahta pada tanggal 24 januari 828 sampai dengan 22 Pebruari 847. Raja ini ahli dalam bangunan candid an ilmu falak (perbintangan). Dia membuat pranata mangsa yang sampai sekarang masih digunakan. Karena kepandaiannya sehingga Raja Sriwijaya ingin menggunakannya untuk membuat candi. Namun Rakai Garung tidak mau walau diancam. Kemudian Rakai Garung diganti Rakai Pikatan yang bermukim di Temanggung. Disini ditemukan Prasasti Tlasri dan Wanua Tengah III. Disamping itu banyak reruntuhan benda kuno seperti Lumpang Joni dan arca-arca yang tersebar di daerah Temanggung. Disini pun terdapat desa Demangan.
Dari buku sejarah karangan I Wayan badrika disebutkan bahwa Rakai Pikatan selaku raja Mataram Kuno berkeinginan menguasai wilayah Jawa Tengah. Namun untuk merebut kekuasaan dari raja Bala Putra Dewa selaku penguasa kerajaan Syailendra tidak berani. Maka untuk mencapai maksud tersebut Rakai Pikatan membuat strategi dengan mengawini Dyah Pramudha Wardani kakak raja Bala Putra Dewa dengan tujuan untuk memiliki pengaruh kuat di kerajaan Syailendra. Selain itu Rakai Pikatan juga menghimpun kekuatan yang ada di wilayahnya baik para prajurit dan senapati serta menghimpun biaya yang berasal dari upeti para demang. Pada saat itu yang diberi kepercayaan untuk mengumpulkan upeti adalah Demang Gong yang paling luas wilayahnya. Rakai Pikatan menghimpun bala tentara dan berangkat ke kerajaan syailendra pada tanggal 27 Mei 855 Masehi untuk melakukan penyerangan. Dalam penyerangan ini Rakai Pikatan dibantu Kayu Wangi dan menyerahkan wilayah kerajaan kepada orang kepercayaan yang berpangkat demang. Dari nama demang dan wilayah kademangan kemudian muncul nama Ndemanggung yang akhirnya berubah menjadi nama Temanggung.
Catatan sejarah Temanggung berasal dari :
  1. Prasasti Wanua Tengah III, Berkala arkeologi tahun 1994 halaman 87 bahwa Rakai Pikatan dinyatakan meninggal dunia pada tanggal 27 Mei 855 M.
  2. Prasasti Siwagrha terjemahan Casparis (1956 - 288), pada tahun 856 M Rakai Pikatan mengundurkan diri.
  3. Prasasti Nalanda tahun 860 (Casparis 1956, 289 - 294), Balaputra dewa dikalahkan perang oleh Rakai Pikatan dan Kayu Wangi.
  4. Prasasti Wanua Tengah III, Berkala Aekeologi Tahun 1994 halaman 89, Rakai Kayu Wangi naik tahta tanggal 27 Mei 855 M.
  5. Dalam buku karangan I Wayan Badrika halaman 154, Pramudya Wardani kawin dengan Rakai Pikatan dan naik tahta tahun 856 M. Balaputra Dewa dikalahkan oleh Pramudha wardani dibantu Rakai Pikatan (Prasasti Ratu Boko) tahun 856 M.
Catatan diatas dapat disimpulkan bahwa Rakai Pikatan mengangkat putranya Kayu Wangi. Selanjutnya mengundurkan diri dan meninggalkan Mataram untuk kawin dengan Pramudha Wardani. Dalam peperangan melawan Balaputra Dewa, Rakai Pikatan dibantu putranya Kayu Wangi. Riwayat Singkat Hari Jadi Kabupaten Temanggung
Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda, Nomor 11 Tanggal 7 April 1826, Raden Ngabehi Djojonegoro ditetapkan sebagai Bupati Menoreh yang berkedudukan di Parakan, dengan gelar Raden Tumenggung Aria Djojonegoro. Setelah perang Diponegoro berakhir, beliau kemudian memindahkan Ibu Kota ke Kabupaten Temanggung. Kebijaksanaan pemindahan ini didasarkan pada beberapa hal; Pertama, adanya pandangan masyarakat Jawa kebanyakan pada sat itu, bahwa Ibu Kota yang pernah diserang dan diduduki musuh dianggap telah ternoda dan perlu ditinggalkan. Kedua, Distrik Menoreh sebuah daerah sebagai asal nama Kabupaten Menoreh, sudah sejak lama digabung dengan Kabupaten Magelang, sehingga nama Kabupaten Menoreh sudah tidak tepat lagi. Mengingat hal tersebut, atas dasar usulan Raden Tumenggung Aria Djojonegoro, lewat esiden Kedu kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, maka disetujui dan ditetapkan bahwa nama Kabupaten Menoreh berubah menjadi Kabupaten Temanggung. Persetujuan ini berbentuk Resolusi Pemerintah Hindia Belanda Nomor 4 Tanggal 10 Nopember 1834.
Mempertimbangkan bahwa Hari Jadi Daerah merupakan awal perjalanan sejarah, agar diketahui semua lapisan masyarakat, guna memacu meningkatkan semangat pembangunan dan pengembangan daerah, maka Pemerintah Kabupaten Dati II Temanggung menugaskan kepada DPD II KNPI Kabupaten Temanggung untuk mengadakan pelacakan sejarah dan seminar tentang Hari Jadi Kabupaten Temanggung. Dari hasil seminar tanggal 21 Oktober 1985, yang diikuti oleh Sejarawan, Budayawan dan Tokoh Masyarakat, ABRI, Rokhaniwan, Dinas/Instansi/Lembaga Masyarakat dan lain-lainnya, maka ditetapkan bahwa tanggal 10 Nopember 1834 sebagai Hari Jadi Kabupaten Temanggun.

http://www.temanggungkab.go.id/profil.php?mnid=2

Sabtu, 12 Februari 2011

Back to PANCASILA Bro..!!!

Sungguh sedih rasanya melihat kondisi bangsa kita sekarang yang tercabik-cabik oleh Anarkisme dan Korupsi, bagaimana tidak Negara yang dibangun dengan pengorbanan yang begitu besar seakan hancur dan luluh lantak oleh prilaku kita sendiri. Musuh kita saat ini bukanlah pihak asing namun diri kita sendiri yang dirasuki hawa nafsu yang begitu membabi buta, keserakahan dan egoisme untuk menguasai satu sama lain dan seakan kita lupa kalau kita semua ini bersaudara.
Mungkin inilah saatnya bagi kita semua untuk kembali menerapkan Pancasila sebagai sebuah i'tikad sebuah bangsa majemuk dalam kehidupan sehari-hari.  Kandungan yang tetera didalamnya
umum dan mencakup berbagai kebutuhan yang semestinya dimiliki suatu
bangsa yang ingin terus maju dan berkembang.
Untuk itu mari kita pelajari kembali dan coba kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 45 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila.
  
Sila pertama  : Ketuhanan Yang Maha Esa
Bintang.
  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
  6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
  7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Sila kedua : Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Rantai.
  1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
  3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
  4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
  5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
  6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
  7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
  10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

Sila ketiga : Pesatuan Indonesia

Pohon Beringin.
  1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
  3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
  4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
  5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
  7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.

Kepala Banteng
  1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
  2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
  3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
  4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
  5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
  6. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
  7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
  10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.

Sila kelima : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Padi Dan Kapas.
  1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
  2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
  3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  4. Menghormati hak orang lain.
  5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
  6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
  7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
  8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
  9. Suka bekerja keras.
  10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
  11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Semoga Pancasila tidak hanya menjadi pajangan dan sekedar lambang. Semoga Indonesia bisa kembali Bangkit dan Berjaya. Pancasila untuk kedamaian Indonesia..!!!

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila

Rabu, 02 Februari 2011

Tionghoa-Indonesia

Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang Han").
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Asal kata

Kata Tionghwa telah digunakan dalam surat setia kepada tentara Nippon ini.
Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina.
Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.

Populasi di Indonesia

Berdasarkan Volkstelling (sensus) di masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia di tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.

Daerah asal di Cina

Peta distribusi daerah asal leluhur suku Tionghoa-Indonesia
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Cina untuk terus berdagang.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara Cina. Mereka termasuk suku-suku:
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.

Daerah konsentrasi

Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
Di Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka kadang-kadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut Cina Benteng. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian lawan jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda dan Melayu.

Sejarah

Masa-masa awal

Seorang pria Tionghoa berkuncir (toucang) di jalanan Batavia pertengahan tahun 1910-an.
Orang dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.
Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan kultur Tionghoa.
Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, di masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.
Ilustrasi pedagang Tionghoa di Banten

Era kolonial

Di masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.
Pembantaian orang Tionghoa tanggal 9 Oktober 1740 di Batavia
Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743.Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut  melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Daerah Pecinan di Banjarmasin.
Kelenteng Tua Pek Kong di Ketapang.

Pendidikan

Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah, seperti di kota Garut dirintis dan didirikan pada tahun 1907 oleh seorang pengusaha hasil bumi saat itu bernama Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek Siang,dengan maksud agar orang Tionghoa bisa pintar, (kemudian jumlahnya mencapai 54 buah sekolah dan di tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.

Perekonomian

Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.

Pergerakan

Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik Cina, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal.
Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel.
Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).

Masa Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI

Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po.
Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.

Pasca kemerdekaan

Selama beberapa dasawarsa, aksara Tionghoa atau Hanzi sempat dilarang atau "tidak dianjurkan penggunaannya" di Indonesia. Namun bahkan kandidat presiden dan wakil presiden Megawati dan Wahid Hasyim menggunakannya pada poster kampanye Pemilu Presiden 2004.

Orde Lama

Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.

Orde Baru

Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak diantara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.

Reformasi

Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.

Kerusuhan Rasial terhadap Warga Tionghoa di Indonesia

Kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta, Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo ,dll. serta berbagai kerusuhan rasial lainnya.
Beberapa contoh kerusuhan rasial yang terjadi yaitu :
Bandung, 10 Mei 1963 Kerusuhan anti suku peranakan Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus Institut Teknologi Bandung antara mahasiswa pribumi dan non-pribumi. Keributan berubah menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke kota-kota lain seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.
Pekalongan, 31 Desember 1972 Terjadi keributan antara orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa. Awalnya, perkelahian yang berujung terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan terjadi saat acara pemakaman.
Palu, 27 Juni 1973 Sekelompok pemuda menghancurkan toko Tionghoa. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas yang bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus dagangan.
Bandung, 5 Agustus 1973 Dimulai dari serempetan sebuah gerobak dengan mobil yang berbuntut perkelahian. Kebetulan penumpang mobil orang-orang Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana.
Ujungpandang, April 1980 Suharti, seorang pembantu rumah-tangga meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus: Ia mati karena dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Kerusuhan rasial meledak. Ratusan rumah dan toko milik suku peranakan Tionghoa dirusak.
Medan, 12 April 1980 Sekelompok mahasiswa USU bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti suku peranakan Tionghoa. Kerusuhan itu bermula dari perkelahian.
Solo, 20 November 1980 Kerusuhan melanda kota Solo dan merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Bermula dari perkelahian pelajar Sekolah Guru Olahraga, antara Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang pemuda suku peranakan TiongHoa. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan dan pembakaran toko-toko milik orang-orang TiongHoa.
Surabaya, September 1986 Pembantu rumah tangga dianiaya oleh majikannya suku peranakan TiongHoa. Kejadian itu memancing kemarahan masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik orang-orang TiongHoa.
Pekalongan, 24 November 1995 Yoe Sing Yung, pedagang kelontong, menyobek kitab suci Alquran. Akibat ulah penderita gangguan jiwa itu, masyarakat marah dan menghancurkan toko-toko milik orang-orang Tiong Hoa.
Bandung, 14 Januari 1996 Massa mengamuk seusai pertunjukan musik Iwan Fals. Mereka melempari toko-toko milik orang-orang TiongHoa. Pemicunya, mereka kecewa tak bisa masuk pertunjukan karena tak punya karcis.
Rengasdengklok, 30 Januari 1997 Mula-mula ada seorang suku peranakan Tiong Hoa yang merasa terganggu suara beduk Subuh. Percekcokan terjadi. Masyarakat mengamuk, menghancurkan rumah dan toko TiongHoa.
Ujungpandang, 15 September 1997 Benny Karre, seorang keturunan Tiong Hoa dan pengidap penyakit jiwa, membacok seorang anak pribumi, kerusuhan meledak, toko-toko TiongHoa dibakar dan dihancurkan.
Februari 1998 Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores, Jatiwangi, Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantauprapat, Aeknabara: Januari – Anti Tionghua
Kerusuhan Mei 1998 Salah satu contoh kerusuhan rasial yang paling dikenang masyarakat Tionghoa Indonesia yaitu Kerusuhan Mei 1998.
Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Solo. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang terbunuh, terluka, mengalami pelecehan seksual, penderitaan fisik dan batin serta banyak warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian orang-orang tersebut.
5-8 Mei 1998 Medan, Belawan, Pulobrayan, Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu, Galang, Pagarmerbau, Beringin, Batangkuis, Percut Sei Tuan: Ketidakpuasan politik yang berkembang jadi anti Tionghoa.
Jakarta, 13-14 Mei 1998 Kemarahan massa akibat penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh kelompok politik tertentu jadi kerusuhan anti Cina. Peristiwa ini merupakan persitiwa anti Cina paling besar sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sejumlah perempuan keturunan Tionghoa diperkosa.
Solo, 14 Mei 1998 Ketidakpuasan politik yang kemudian digerakkan oleh kelompok politik tertentu menjadi kerusuhan anti Tionghua.

Peran Warga Tionghoa Bagi Republik Indonesia


Peran Sosial Budaya dan Pendidikan

Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.
Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia juga terlihat dalam koran Sin Po, dimana koran Sin Po menjadi koran pertama yang menerbitkan teks lagu Indonesia Raya setelah disepakati pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
Nama Sie Kok Liong memang sangat jarang didengar oleh masyarakat Indonesia, namun Sie Kok Liong merupakan seorang warga Tionghoa yang menyewakan rumahnya bagi para pemuda dalam menyelenggarakan Sumpah Pemuda. Hanya sedikit catatan mengenai Sie Kok Liong, seiring dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada awal abad ke-20 di Jakarta tumbuh pula pondokan-pondokan pelajar untuk menampung mereka yang tidak tertampung di asrama sekolah atau untuk mereka yang ingin hidup lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu di antara pondokan pelajar itu adalah Gedung Kramat 106 milik Sie Kok Liong. Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar sering berkumpul. Gedung itu, selain menjadi tempat tinggal dan sering digunakan sebagai tempat latihan kesenian Langen Siswo juga sering dipakai untuk tempat diskusi tentang politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926. Selain dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda sering menggunakan gedung ini sebagai tempat kongres. Bahkan pada 1928 Gedung Kramat 106 jadi salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27 - 28 Oktober 1928.
Universitas Trisakti yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di Indonesia juga merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi Baperki yang kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu Siauw Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak Orde Baru, universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga sekarang.
Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan. Rumah peninggalan Tjong A Fie sampai sekarang masih ada di kota Medan walaupun bangunannya terlihat tidak terurus lagi.
Di Bagansiapiapi terdapat festival atau upacara bakar tongkang sebagai ucapan rasa syukur masyarakat Tionghoa Bagansiapapi atas perlindungan Dewa Ki Ong Ya. Upacara bakar tongkang sangat diandalkan pemerintah daerah setempat sebagai daya tarik wisata daerah dimana setiap tahunnya menyedot puluhan ribu kunjungan wisatawan baik dalam maupun luar negeri.
Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya kurang lebih 50 milyar rupiah.



http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia