Hikayat merupakan jenis karya sastra Aceh yang terbesar, baik dilihat dari jumlah dan keluasan cakupan isinya. Hingga saat ini belum diketahui secara pasti berapa jumlah hikayat Aceh yang pernah ada (pernah diciptakan dan/atau pernah ditulis) dan yang masih ditemukan hari ini. Umumnya hikayat pada awalnya diciptakan dalam tradisi lisan, dihafal oleh penciptanya dan oleh orang-orang yang sudah terbiasa mendengarnya. Begitulah tradisi ini berlangsung turun temurun dalam masyarakat Aceh. Upaya penulisan hikayat biasanya dilakukan oleh orang lain yang bukan penciptanya. Akan tetapi ada beberapa hikayat yang memang ditulis sejak awal penciptaannya oleh penciptanya sendiri, meskipun kemudian sering disalin kembali dan dilakukan penambahan di sana-sini oleh orang lain. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita menemukan beberapa pengarang dari suatu hikayat dan kadang-kadang cukup sulit bagi kita untuk mendapatkan informasi siapa pengarang aslinya. Ini kebiasaan yang berlaku dalam budaya tradisi lisan.
Hikayat Aceh memuat berbagai aspek kehidupan, mulai dari kisah-kisah pribadi hingga berbagai jenis epik. Fungsi dan posisi hikayat dalam bidang agama tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai kebiasaan yang telah berkembang dari dulu. Bahwa masyarakat Aceh dalam kurun sejarah yang cukup panjang amat menyenangi karya sastra semacam hikayat. Baik orang-orang besar, apakah tua maupun muda, laki-laki ataupun perempuan, semuanya tergila-gila kepada hikayat.
Melihat kandungan isinya, secara umum hikayat-hikayat Aceh dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yakni jenis epik dan jenis non-epik.
Hikayat-Hikayat Epik
Epik merupakan narasi panjang tentang cerita kepahlawanan. Epik dapat berbentuk syair-syair panjang yang biasanya memuat kisah-kisah perjuangan seseorang pahlawan dan pejuang yang heroik. Para ahli teori sastra barat seperti John Peck & Martin Coyle (1984) mengatakan bahwa epik merupakan jenis puisi yang paling ambisius (‘the most ambitious kind of poem’). Epik adalah karya sastra besar yang senantiasa menampilkan event-event sejarah dan legendaris yang bersifat universal dan nasional (Mc.Arthur, 1992:876).Dalam karya sastra bahasa Aceh, epik dapat dibagi menjadi empat kelompok, yakni, epik sejarah, epik perang, epik keagamaan, dan epik roman dan legenda. Akan tetapi pengelompokan ini tidak bisa dilakukan atas dasar satu garis pemisah yang terang, dan di sana-sini musti terdapat duplikasi dan overlapping. Hal ini dapat terjadi oleh karena dalam suatu hikayat ditemukan beberapa unsur kandungan. Misalnya, dalam epik perang terdapat kandungan dan muatan sejarah, demikian juga unsur-unsur keagamaan terdapat dalam epik sejarah.
Epik sejarah
- Ataranya adalah
- Hikayat Malém Dagang
- Hikayat Pocut Muhamat
- Hikayat Nun Parisi
Epik Perang
- Hikayat Prang Sabi
- Hikayat Prang Gômpeuni
- Hikayat Prang Cut Ali
- Hikayat Prang Pandrah
- Hikayat Eseutamu (Istambul)
- Hikayat Prang Raja Khaiba
Epik Keagamaan
Epik Roman dan Legenda
Merupakan kelompok yang terbesar dan paling banyak jumlahnya dibandingkan dengan ketiga kelompok terdahulu. Yang paling termasyhur dalam kelompok ini adalah:- Hikayat Malém Diwa
- Hikayat Jugi Tapa
- Hikayat Asai Padé
- Hikayat Putroe Gumbak Meuh
- Hikayat Indra Budiman
- Hikayat Banta Beuransah
Hikayat-Hikayat Non-Epik
Pada umumnya karya-karya non-epik lebih singkat dan pendek. Berbeda dengan jenis epik, kebanyakan hikayat non-epik merupakan karya tulis: artinya proses penciptaannya dari semula memang dirancang dalam bentuk teks tulisan. Karya-karya non-epik dapat dibagi menjadi lima kelompok seperti di bawah ini:Kelompok Agama/Moral
Dalam jenis non-epik, kelompok agama/moral inilah yang paling besar dan paling banyak jumlahnya. Karya hikayat dalam kelompok ini terdiri dari berbagai topic, ada yang berkenaan dengan hokum-hukum agama, cerita-cerita akhirat (termasuk tentang nikmat surga dan azab neraka), serta kata-kata nasihat dan peringatan. Yang paling terkenal dalam kelompok ini diantaranya- Hikayat Akeubarô Karim
- Kisah Duablah Peukara
- Hikayat Tambéh Tujôh Blah
- Hikayat Bahaya Siribèe
- Hikayat Tujôh Kisah
- Sanggamara
- Cahya Permata.
Kelompok Kritik Sosial
Dalam kelompok ini kita temukan berbagai karya yang kandungannya memuat maksud penulis untuk memberikan kritik dan protes terhadap bermacam-macam kejadian dalam masyarakat kita yang mengandung muatan negatif dan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Diantara hikayat yang tergolong ke dalam kelompok ini ialah:- Tanda Mata (Araby Ahmad, 1959)
- Kareuna Ma Tuan (Syèh Rih Krueng Raya, 1968).
Kisah Pribadi
Dalam karya-karya hikayat yang tergolong ke dalam kelompok ini, kita dapati isinya memuat tentang pengalaman pribadi seseorang yang telah dituangkan ke dalam bentuk hikayat dengan harapan dapat menjadi pelajaran bagi orang lain. Hikayat-hikayat ini menyerupai autobiografi dalam sastra modern. Mungkin cukup menarik untuk dibaca atau didengarkan bacaannya karena memuat berbagai pengalaman hidup dari figure tokoh-tokoh masyarakat kita yang hidup di zaman yang berbeda.Salah satu karya yang dapat digolongkan ke dalam kelompok ini adalah hikayat Ranto, karya Leubè Isa yang juga terkenal dengan nama Teungku Bambi. Di sini Teungku Bambi mengisahkan pengalaman hidupnya di rantau, yakni di daerah perkebunan lada di pantai barat Aceh pada masa pendudukan Belanda. Selain itu, kita jumpai hikayat Seumangat Atjeh (Abdullah Arief, 1956) di mana penulisnya mengabadikan pengalaman kepergiannya ke luar negeri, yakni ke Canada. Ada lagi hikayat Ana Wahiya (Teungku Hasan Ibrahim Bireuen) yang mengisahkan pengalaman hidupnya sejak masa kecil.
Kelompok Sejarah
Dalam kelompok ini kita jumpai karya-karya seperti:- Hikayat seujarah Darôssalam (Tgk. Basyah Kamal Lhông, 1960)
- Nasib Aceh (Abdullah Arif, 1956)
- Si Judô Pahlawan Aceh (Araby Ahmad, 1960).
Kisah-Kisah Perumpamaan Binatang
Kelompok ini agak kecil dan tidak banyak jumlahnya. Yang terkenal di antaranya ialah:- Hikayat Peulandôk Kancé (yang dalam versi prosa dikenal dengan Haba Peulandôk)
- Hikayat Kisah Hiweuen atau dikenal juga dengan Hikayat Nasruan Adé.