Carita adege nagara Islam ing Demak bedhahe nagara Majapahit kang salugune wiwite wong Jawa ninggal agama Buddha banjur salin agama Islam. Gancaran basa Jawa ngoko; Babon asli tinggalane KRT Tandhanagara, Surakarta; Cap- capan ingkang kaping sekawan, 1959; Toko Buku “Sadu-Budi” Sala.
Serat Darmagandul merupakan kitab yang cukup dikenal dalam kesusasteraan Jawa. Tidak sedikit yang menggunakannya sebagai bahan studi sejarah, terutama terkait keruntuhan Majapahit. Serat Darmogandul merupakan serat yang berisi cerita tentang dialog antara tokoh-tokoh pada jaman dulu kala di Indonesia. Dalam serat ini pula didapatkan cerita berubahnya keyakinan Prabu Brawijaya dari agama Buddha beralih ke agama Islam. Akan tetapi karena serat Darmogandul dinilai banyak pihak sebagai naskah yang bermuatan penghinaan terhadap Islam, maka serat tersebut dilarang beredar. Tapi kini kita bisa menemukan serat Darmogandul di banyak blog baik dalam naskah berbahasa jawa, maupun terjemahannya. Untuk terjemahan Darmogandul bisa dilihat disini.
Serat Darmagandul merupakan kitab kontroversial yang mengambil ide cerita dari Serat Babad Kadhiri. Meskipun merupakan hasil plagiasi dari Babad Kadhiri, namun Serat Darmagandul tampaknya ditulis berdasarkan motif tertentu yaitu keberpihakan pengarangnya terhadap pemerintah kolonialis Belanda dan kecenderungan terhadap keberadaan misi Kristen di tanah Jawa. Unsur Kristen dalam Serat ini boleh dikatakan dominan dengan menggunakan simbolisasi wit katvruh dan berbagai cerita yang berasal dari Bibel.
Serat Babad Kadhiri ditulis berdasarkan perintah Belanda. Sedangkan serat Darmagandul menunjukkan wujud apresiasi yang baik terhadap Belanda, bukan dalam pandangan sebagai musuh atau penjajah namun justru sebagai kawan. Mengingat pengarang Darmagandul tidak jelas identitasnya, maka kemiripannya dengan Babad Kadhiri ini jelas menimbulkan sebuah pertanyaan besar. Dapat diduga bahwa Babad Kadhiri yang ditulis atas perintah dari Belanda, kemudian dimanfaatkan untuk membuat Serat Darmagandul dengan tujuan memarginalkan ajaran Islam dan sekaligus memanipulasi sejarah Islam.
Secara umum buku Darmagandul banyak memiliki kesalahan data dalam mengungkapkan fakta sejarah. Oleh karena itu sulit dipastikan bahwa buku tersebut benar-benar ditulis pada masa peralihan antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak. Bukti lebih kuat justru menekankan bahwa buku tersebut di tulis di era belakangan pasca penjajahan bangsa Eropa di Bumi Nusantara. Oleh karena itu cerita sejarah dalam serat tersebut boleh diabaikan dari kedudukannya sebagai sebuah fakta.
Buku Darmagandul merupakan tulisan yang sebagian besar mengisahkan tentang keruntuhan kerajaan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak. Dalam versi Darmagandul Majapahit runtuh akibat serangan dari Adipati Demak yang bernama Raden Patah. Sebenarnya Raden Patah masih merupakan putra Prabu Brawijaya, raja Majapahit terakhir, dengan seorang putri dari China. Namun, menurut buku Darmagandul, para ulama yang dipimpin sunan Giri dan Sunan Benang (Bonang) yang tergabung dalam majlis dakwah wali sanga, memprovokasi Raden Patah agar merebut tahta kerajaan dari ayahnya yang masih kafir, karena memeluk agama Budha.
Bujukan para wali berhasil, sehingga pada akhirnya Majapahit dapat dibumi hanguskan dan Prabu Brawijaya berhasil meloloskan diri. Buku darmagandul juga mengupas tentang ‘budi buruk’ para ulama yang oleh Prabu Brawijaya diberi kebebasan untuk berdakwah diwilayah Majapahit, namun pada saat Islam telah menjadi besar mereka berbalik melawan Majapahit dan melupakan budi baik sang raja Brawijaya. Hal ini ditunjukkan dengan ekspresi penulis Darmagandul ketika mengartikan wali adalah walikan (kebalikan). Artinya diberi kebaikan namun membalas dengan keburukan. (ref)
Darmogandul. Di telinga orang ~Jawa pun hal itu terdengar lucu. Tapi buku ini, Serat Darmogandul, memang dimaksud sebagai ejekan yang lucu, yang dikaitkan dengan hal-hal porno. Judul buku fiksi yang mengisahkan masuknya Islam ke Jawa dan runtuhnya Kerajaan Majapahit ini juga menimbulkan gambaran yang tak jauh dari (maa~ kelamin pria. Pada 1920-an, Darmogandul pernah diprotes masyarakat Islam dan Cina ketika pertama kali dimuat dalam sebuah almanak. Darmogandul, yang ditulis dalam bahasa Jawa dan dalam bentuk~ sekar atau puisi Jawa itu, memang mencemooh orang Cina, orang Arab, dan menyerang Islam.
Siapa pengarang Darmogandul, tak jelas. Pada terbitan Dahara Prize memang disebutkan namanya: Ki Kalamwadi. Tapi ini nama samaran (kalam adalah pena, wadi berarti rahasia: “penulis yang merahasiakan namanya”). Pengarang yang sesungguhnya mungkin Raden Budi Sukardi, yang beberapa kali disebut oleh Ki Kalamwadi (pencerita dalam buku itu) sebagai “guru yang dapat dipercaya”. Beberapa ahli juga tak berhasil menemukan nama dan identitas pengarangnya.
Menurut M. Hari Soewarno dalam Serat Darmogandul dan Suluk Gatoloco tentang Islam, pengarangnya adalah Ronggowarsito (1802-1873), sastrawan Jawa terkenal dari Keraton Surakarta. Menurut Simuh, dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Yogya, buku itu ditulis pada zaman Kerajaan Surakarta antara tahun 1755 dan 1881. Tapi doktor yang disertasinya mengenai karya Ronggowarsito Wirid Hidayat Jati itu tidak tahu persis siapa penulisnya.
Dalam pada itu, menurut Prof. Dr. G.W.J. Drewes, dalam The Struggle between Javanism and Islam as Illustrated by the Serat Dermogandul dan Javanese Poems Dealing with or Attributed to the Saint of Bonang, buku itu karangan seorang bangsawan tinggi di Kediri, dan bersumber dari Babad Kediri yang ditulis sekitar 1873.
Sementara itu, menurut Prof. Dr. H.M. Rasjidi, dalam Islam dan Kebatinan, pengarang Darmogandul adalah Pangeran Suryonegoro, putra Hamengku Buwono VII. Menteri Agama RI yang pertama itu ~ yakin bahwa Darmogandul ditulis pada zaman penjajahan Belanda, terbukti dari adanya beberapa kata Belanda seperti kelah (klacht) dan puisi.
Sebelum Dahara Prize menerbitkannya, pada tahun 1954 (sekitar tiga puluh tahun setelah heboh), penerbit buku-buku Jawa di Kediri yang ketika itu sangat terkenal, Tan Koen Swie, sudah menerbitkannya sebagai cetakan kedua. Sampai kini, buku itu hanya dikenal kalangan terbatas: generasi tua dan para ilmuwan yang khusus mempelajari literatur Jawa yang berkaitan dengan paham kebatinan.
Darmogandul memang pernah jadi salah satu acuan para penganut kepercayaan. Tapi, menurut tokoh kejawen almarhum Mr. Wongsonagoro, Darmogandul kemudian tidak menjadi pedoman para penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Isi Darmogandul sebenarnya mengenai penyebaran Islam di Jawa (dari kawasan pesisir utara) dan runtuhnya Kerajaan Majapahit (di pedalaman), yang dituturkan secara fiktif.
Paham keagamaan di dalamnya merupakan cerminan perbenturan nilai setelah datangnya agama baru, juga antara kerajaan pesisir yang Islam dengan kerajaan pedalaman yang masih Budha-Hindu. Orang Jawa, ketika itu, hanya menerima nilai-nilai Islam yang rada-rada cocok dengan paham lama lalu mencampur-adukkannya — yang belakangan melahirkan paham kepercayaan yang sinkretis.
Yang mengundang keresahan masyarakat Islam ialah penyajian pikiran pikiran tentang seks dalam buku itu, yang dipakai sebagai usaha untuk meletakkan “penafsiran” materi ajaran Islam pada kedudukan pornografis — yang tidak lepas dari kerangka pertentangan politik dan budaya antara kedua kerajaan itu, antara “Jawa” dan “Islam”.Semangat anti-Islam muncul akibat trauma keruntuhan Majapahit yang diserang oleh Raden Patah, putra raja Majapahit Brawijaya V sendiri yang sebelumnya diangkat sebagai adi~pati di Demak. Raden Patah dinilai sebagai anak~ durhaka, apalagi ia sebenarnya bukan “Jawa asli” tapi lahir dari rahim~ ibundanya yang~ berdarah Cina (tepatnya: Campa,Kamboja). Sampai sekarang “kambing hitam” keruntuhan Majapahit adalah Raden Patah.
Padahal, menurut Tardjan Hadidjaja dan Kamajaya dalam Serat Centhini Dituturkan dalam Bahasa Indonesia Jilid I-A, sesungguhnya Raden Patah hanyalah merebut kekuasaan Girindrawardhana, yang sebelumnya telah lebih dahulu memporak-porandakan Majapahit dari dalam. Darmogandul juga melukiskan, meski Brawijaya V akhirnya dibaiat sebagai muslim oleh Sunan Kalijaga “secara lahir batin”, banyak rakyat dipaksa masuk Islam. Ini tentu penilaian sepihak, sebab para wali di Jawa selama ini dikenal sebagai penyebar Islam yang akulturatif.
Seperti digambarkan oleh Dojosantosa dalam buku Unsur Religius dalam Sastra Jawa, meski agama Budha dan Hindu sudah berakar berabad-abad, orang Jawa menerima Islam “dengan senang hati untuk memperkaya peradaban”. Gara-gara protes masyarakat Islam, menurut Anung Tejo Wirawan, ‘dosen sastra Jawa UGM yang meneliti Darmogandul, buku yang kontroversial ini beberapa kali disunat oleh penerbitnya.
Pada terbitan Dahara Prize kali ini, misalnya, pendapat bahwa “babi dan anjing lebih baik dari kambing curian” sudah dihapus. Begitu pula cara penghinaan dengan gaya jarwodosok terhadap Quran. Jarwodosok atau plesedan adalah gaya bahasa dalam penulisan sastra maupun dalam bahasa lisan para pelawak Jawa, dengan mencari persamaan bunyi yang cenderung lucu dan porno.
Dalam Darmogandul (edisi lama), misalnya, disebut syari’at atau sarengat diartikan “kalau sare (tidur) anunya njengat (ereksi)”. Beberapa kata dalam surah al-Baqarah juga dipeleset-pelesetkan. Misalnya, huda dalam huda lilmuttaqien diartikan wuda alias telanjang. Dan banyak lagi. Dalam penelitian itu Anung menemukan, hanya 10% isi buku itu yang menghina Islam atau porno. (ref)
Sementara itu, menurut dosen sastra Jawa UGM yang lain, Dr. Kuntara Wiryamartana, Darmogandul bukanlah sastra Jawa yang punya arus yang kuat. Karena itu, beberapa ilmuwan, termasuk Simuh, kurang setuju buku itu dilarang beredar. “Kalaupun diedarkan secara luas, penerbit hendaknya memberikan pengantar dan catatan, sehingga pembaca mengerti duduk soalnya,” katanya Namun, bagi A.R. Fachruddin, ketua PP Muhammadiyah, betapapun yang 10% itu tetap berarti penghinaan. Mengapa Dahara Prize berani menerbitkannya? “Karena masyarakat kita sudah maju, dan saya yakin umat Islam tidak tersinggung membaca Darmogandul, yang hanya merupakan imajinasi pengarang itu,” ujar Deradjat Harahap, direktur Dahara Prize. Dalam kata pengantar buku itu, pembaca memang diimbau oleh penerjemah (yang tidak menyebutkan namanya) agar kritis, sehingga “tidak gampang terpengaruh oleh isi buku ini”.
Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama Pertama RI, juga pernah menulis dan menerjemahkan Darmogandul yang banyak memuat pelecehan terhadap Islam. Dalam salah satu bait Pangkur-nya serat ini menulis “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”
Ada lagi ungkapan dalam serat ini “Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir. Ia sesungguhnya melakukan zikir salah. Muhammad artinya Makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.”“Semua makanan dicela, umpamanya masakan cacing, dendeng kucing, pindang kera, opor monyet, masakan ular sawah, sate rase (seperti luwak), masakan anak anjing, panggang babi atau rusa, kodok dan tikus goreng.”“Makanan lintah yang belum dimasak, makanan usus anjing kebiri, kare kucing besar, bistik gembluk (babi hutan), semua itu dikatakan haram. Lebih-lebih jika mereka melihat anjing, mereka pura-pura dirinya terlalu bersih. ““Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun dengan tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya.”“Kalau bersetubuh dengan manusia tetapi tidak dengan pengesahan hakim, tindakannya dinamakan makruh. Tetapi kalau partnernya seekor anjing, tentu perkataan najis itu tidak ada lagi. Sebab kemanakah untuk mengesahkan perkawinan dengan anjing?”(ref)
Mencermati bahwa Babad Kadhiri merupakan produk dari proyek penjajah, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Serat Darmagandul adalah kelanjutan langkah Belanda dalam menjinakkan perlawanan Islam. Pada sekitar 1900-an politik Belanda banyak diarahkan untuk mengantisipasi kekuatan Islam yang dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial (Steenbrink, 1984:241-242). Kebijakannya dilakukan dengan kristenisasi dan pemunculan apa yang disebut sebagai “kaum adat” (Benda, 1980:40-46). Kebijakan politik Belanda pasca 1850-an bukan sekedar bermotif ekonomi, beberapa kasus menunjukkan bahwa imperialisme Belanda adalah manifestasi idealisme yang bersifat politik dan agama (Kartodirdjo,1999:4-5).(ref)
Antara misi Kristen dengan penjajahan Belanda memang satu paket. Dan untuk melakukan pelemahan terhadap Islam yang saat itu begitu gigih melakukan perlawanan terhadap kolonialisme, menghasut dengan membuat cerita-cerita negatif dan melecehkan adalah salah satu cara yang mereka gunakan. Tak tertutup kemungkinan, mereka melakukan politik pecah belah, memukul dengan menggunakan tangan kelompok kebatinan, yang memang sudah dari dulu menyimpan ‘dendam’ dengan umat Islam akibat jatuhnya Mojopahit ke tangan kerajaan Demak…. entahlah.
Terakhir sebuah cuplikkan menarik yang ada dalam Serat Darmogandul pada bagian dialog antara Sunan Kalijaga dengan Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon bisa dibaca disini!
*Sebuah kompilasi tulisan dari berbagai sumber, sekedar menelusuri hal sedikit dari yang tersirat dan tersurat sebuah serat.
http://ariskuceritaku.blogspot.com/2011/03/tersirat-dari-serat-darmogandul.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar