SELAMAT DATANG DI DUNIA GUBRAK!!!

Gubrak Indonesia

Rabu, 06 Oktober 2010

Tionghoa Di Singkawang ( page 1)

Akibat perang, bencana alam, dsb, banyak orang Melayu tersebar dari Asia Selatan ke Asia Tenggara. Sebagian dari mereka tiba dan menetap di kepulauan Nusantara. Gelombang pertama orang Melayu disebut Melayu Tua (Proto Melayu) dan penyebarannya sekitar 1.500 Tahun SM. Negrito dan Wedda, yang masing-masing adalah ras asli di kepulauan nusantara berbaur dengan atau terdesak kedaerah pinggiran oleh Melayu Tua tersebut. Menurut Dr. Fridolin Ukur, penduduk pribumi Kalimantan yang dikenal dengan nama “dayak” berasal dari Tiongkok bagian selatan, atau tepatnya Provinsi Yunan (d/h. Yunnan, demikian juga selanjutnya) yang ikut dengan arus migrasi besar-besaran antara tahun 3.000-5.000 SM. Demikian dikutip oleh Ali Bastian. (Bastian,Ali, Penduduk Asli Kalimantan dari Tiongkok Selatan? Harian Berita Yuda, 23 September 1991).

Penyebaran gelombang kedua yang disebut Melayu Muda (Deutro Melayu) terjadi sekitar 200-300 tahun SM. “Pada awal abad ke -2 SM, sebagaimana tercatat dalam buku pelajaran Sejarah Indonesia, terjadi migrasi nenek moyang orang Indonesia ke kepulauan Nusanatara ini, Migrasi bangsa iniberlangsung lama sekali dan dalam gelombang-gelombang pada waktu yang berlainan. Tanah asal mereka adalah Tiongkok Selatan (Yunnan). Dari sana mereka berjalan ke pantai barat Hindia Belakang, terus ke selatan dan akhitnya tiba di Indonesia yang sekarang” (Saripin, S., Sejarah Kesenian Indonesia, Jakarta: Pratnya Paramita, 1960, hlm.21) .

Tapi saya berpendapat lain. Menurut saya nama “dayak” itu bukanlah nama dari penduduk asli Borneo. Seperti juga nama istilah ‘melayu tua’ atau ‘melayu muda’ itu diberikan oleh para sarjana dan peneliti sejarah yang tidak tahu harus memberi nama apa. Sedangkan penelitian-pemelitian ini dilakukan pada era ketika istilah-istilah “melayu” dan “dayak” itu sudah ada. Istilah atau nama “dayak” dan “melayu” itu ada setelah masuknya Islam ke bumi Nusantara. Islam adalah agama yang masuk kedua setelah masuknya Hindu. Hindu datang dari Kerajaan Hindu Kutai Kertanegara pada masa Mulawarman. Ketika itu semua penduduk asli yang ada di Borneo masih tidak beragama, hanya animisme. Kita semua tahu Kutai adalah kerajaan hindu pertama di Nusantara. Majapahit datang ke Borneo setelah spenduduk disini banyak yang memeluk Hindu. Itulah sebabnya Majapahit masuk ke Borneo dengan damai tanpa peperangan. Hindu di Borneo banyak dikenal dengan nama Hindu Kaharingan. Dengan Sang Jubata sebagai dewa utama. Ketika itu belum ada Islam. Semua penduduk adalah sama, tidak ada dayak dan tidak ada melayu.

Ketika Islam datang penduduk asli yang masuk Islam dinamakan “Melayu” karena tinggal didaerah-daerah pesisir dan tepian sungai-sungai besar. Sedangkan penduduk asli yang tidak masuk Islam karena belum mendengar syiar Islam karena tinggal jauh didaerah pedalaman yang lebih hulu atau pegunungan dinamakan “Dayak”. Itulah sebabnya mengapa Melayu selalu identik dengan Islam. Saya juga tidak setuju dengan istilah Melayu Tua dan Melayu Muda tersebut. Saya lebih cenderung akan menggunakan istilah “cikal bakal melayu”.

Prof. Kong Yuanzhi mengadakan: Kemudian Melayu Muda ini membaur dengan Melayu Tua, atau mendesak sebagiannya kedaerah pinggiran. Keturunan kedua golongan yang berbaur itulah yang menjadi bagian utama bangsa Indonesia saat ini. Darimana gerangan Melayu Tua dan Melayu Muda yang kemudian menetap di Nusantara pada zaman prasejarah itu berasal? Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat, banyak cendekiawan sepakat bahwa baik Melayu Tua maupun Melayu Muda berasal dari bagian selatan darata Asia. Argumen ini telah terbukti dengan hasil studi antropologi, arkelologi, peradatan, linguistik dsb. Dan dari semua itu dapat dipastikan bahwa semuanya agama aslinya adalah Animisme.(Prof. Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, hlm.2-4, BIP).

kemudian dikatanya lagi : Pada Abad ke-7, Buddhisme sangat berkembang di Tiongkok maupun di Indonesia. Selama 25 tahun (671-695), Yi Jing (I-Tsing) bikkhu senior Dinasti Tang, dalam perjalanannya mengejar agama Buddha ke India (Karyanya: Kisah Perjalanan Mengejar Buddhisme di Laut Selatan), pernah 3 kali singgah di Sriwijaya, dan tinggal belasan tahun disana. Hui Ning (664-665), juga seorang bikkhu senior pada Dinasti Tang tiba di Keling, Jawa. Sekitar 20 bikkhu Tionghoa sudah mengunjungi Sriwijaya, Melayu (sekitar Jambi) atau Keling ketika Yi Jing dan Hui Ning mengadakan perlawatan ke sana. Hu Ning pada akhirnya menetap di Sriwijaya dan Jawa, dan meninggal pada usia lanjut di Indonesia. Dalam hal ini ternyata Kerajaan Sriwijaya sangat mempengaruhi perkembangan agama Buddha yang ada di Tiongkok. Yi Jing malah mengusulkan pada kaisar bagi bikkhu Tiongkok yang ingin mempelajari Buddhisme di India agar belajar dahulu di Sriwijaya. Dari letak geografi, perjalanan laut dari Tiongkok ke Jawa dan Sriwijaya, mereka singgah dipanatai-pantai Kalimantan Barat, walau tidak disebutkan secara khusus karena waktu itu langka penduduk. (Prof. Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, hlm.15-17, BIP).

Sejalan dengan proses Islamisasi yang berlangsung dibeberapa pulau besar Indonsia pada pertengahan abad ke-16, Buddha berangsur-angsur menjadi agama yang banyak dianut oleh orang-orang Tionghoa. Keadaan ini masih berlanjut hingga kini. Sejak Dinasti Han samapai Dinasti Tang, di Tiongkok makin banyak penduduk yang menganut Buddha, Taoisme, dan Konghucu. Orang Tionghoa di Indonesia (orang Tionghoa disini secara luas berarti semua orang berdarah keturunan Tionghoa) menganut ketiga agama tersebut sebagai “Sam Kauw” atau Tridharma. Mereka memeluk ketiga agama tersebut dan membawa kebudayaan tradisional Tionghoa di Indonesia. Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), sebuah perkumpulan orang Tionghoa yang terkenal, didirikan pada tahun 1900. Lee Kim Hok, salah seorang pemimipin perkumpulan itu dalam tulisannya yang berjudul Agama Orang Tinghoa, telah menguraikan perpaduan ajaran Konghucu dengan Buddha dan Taoisme.

Klenteng Sam Po Kong yang sangat terkenal di Semarang, Jawa tengah, yang didirikan oleh orang Tionghoa, secara mencolok mencerminkan cirri-ciri ketiga agama tersebut. Cendikiawan Singapura Lee Khoon Choy menuliskan dalam bukunya, Yinni: Shenhua Yu Xianshi (Indonesia: Mitos dan Realita), bahwa Kelenteng sam Po Kong mengandung cirri-ciri perpaduan tritunggal ketiga agama tersebut. Buddhisme tercermin pada bentuk Klenteng, Taoisme tercermin pada suasana misterius jejak peninggalan jangkar kuno, sedangkan Konghucu tercermin dalam lukisan foto Konghucu serta jejak-jejak peninggalan mengenai peringatan 100 pelaut, yang kesemuanya mewakili azas ajaran menyembah nenek moyang dari agama Konghucu.

Pada Tahun 1934, Kwee Tek Hoay mendirikan sebuah organisasi sosial keagamaan bernama Sam Kauw Hwee Indonesia pada masa Hindia Belanda, dengan tujuan untuk menyatukan, mengembangkan, dan mempraktikan ketiga agama itu. Pada tahun 1952 ia mendirikan Gabungan Sam Kauw Hwee, yang diganti nama menjadi Gabungan Tridharma Indonesia pada era Soeharto (ORBA)

Pemerintahan Soeharto menggalakkan politik pembauran terhadap orang Tionghoa Indonesia, dan karena Konghucu dan Taoisme dianggap berasal dari Tiongkok, serta dianggap tidak menguntungkan pembauran orang Tionghoa, maka dikenakan berbagai pembatasan. Gabungan Tridharma Indonesia kini utamanya mengadakan kegiatan ibadat Buddha, mayoritas mutlak umatnya adalah pemeluk Buddha Mahayana. (Prof. Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, hlm.19-21, BIP).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar