Pada abad ke-15 (Tahun 1407), armada Laksamana Ceng Ho (Zeng He) atau Sam Po Bo atau Sam Po Kong tiba di Kukang, Palembang Sumatera dan mulailah terbentuk komunitas muslim Hanafi sampai ke Sambas di Kalbar. (Tuanku Rao, hlm.652 , China Muslim, hlm.2).
Haji Mah Hwang, asisten Laksamana Cheng Ho, dalam bukunya Yingya Shenglam (Pemandangan Indah di Seberang Samudera) menuliskan sebelum Cheng Ho tiba di Nusantara, sudah ada sejumlah Muslim Tionghoa. (Prof. Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, hlm.25, BIP).
Seabad sebelumnya Kaisar Shian (Dinasti Yuan, Tiongkok) pernah mengutus dua orang duta muslim beserta rombongan bernama Sulaiman dan Shamsuddin mengunjungi negara Melayu. (Prof. Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, hlm.24, BIP).
Abad ke-17, Sultan Ahmad (nama Wang Santing atau Wang Samtheng, dikenal sebagai menteri negeri Cina) beristrikan putri Sultan Muhammad dari Brunai, menurunkan Raden Sulaiman, pendiri Kesultanan Sambas. (Pabali H. Musa, Sejarah Kesultanan Sambas, hlm. 126, 127, 130).
Pada Abad ke-18, antara tahun 1720-1750, Sultan Sambas yakni Sultan Umar Akamuddin pertama kali mengundang penambang-penambang orang Tioghoa dari Tiongkok untuk membuka tambang-tambang emas di wilayah Kesultanan Sambas. Sekarang wilayah Singkawang, Bengkayang dan Sambas. (Chinese Democracies, hlm.25, 312)
Antara 1776-1854 di wilayah Sambas, terbentuk Federasi dari 14 Kongsi – kongsi komunitas penambang Tionghoa. Bernama Heshun Zong Ting (Fosjoen). Ke-14 Kongsi-kongsi itu adalah a.l : Da Gang (Thai Kong), Keng Wei (Hang Moei), Lintian, dll.
Tahun 1834, George Windsor Earl, dalam karangannya The Eastern Seas or Voyages and Adventures In The Indian Archipelago, menuliskan kunjungannya ke Singkawang, Sambas dan Bengkayang pada tahun 1934. Banyak catatan sejarah kehidupan masyarakat Singbebas (Singkawang Bengkayang Sambas) tercermin dalam kunjungan tersebut, antara lain pasar dan toko-toko di Singkawang hanya dijaga oleh nyonya-nyonya yang bersuami laki-laki Tionghoa dan hanya sedikit nyonya pemilik toko adalah orang Tionghoa, kebanyakan adalah wanita Dayak yang bersuamikan orang Tionghoa. Terlihat bahwa hampir seabad sejak kedatangan rombongan penambang tionghoa ke Singbebas yang ada adalah pria semua, keseimbangan gender hanya dapat didekati dengan perkawinan campur pria tionghoa dengan wanita setempat.
Tahun 1838, Doty dan Puhlman, dua pendeta Jesuit, misionaris Amerika yang berkunjung ke Singbebas, menuliskan kunjungannya dalam “Tour in Borneo, From Sambas Through Monterado to Pontianak and……..Settlement of Chinese and Dayak, During The ……..1838), antara lain penghidupan dan kehidupan penduduk Tionghoa dan lingkungannya adalah yang terbaik dari tempat-tempat lain yang pernah mereka kunjungi (di seluruh dunia) bahkan secara mengejutkan mereka menemukan anak-anak sampai umur 14 tahun semua bersekolah ( Chun Kew, 89 )
Abad ke-21 bahwa wilayah Sambas yang melingkupi kota Singkawang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang (Singbebas) bermakna “sam’ (tiga) “bas”(suku/etnis), dalam arti penduduknya terdiri dari :
1. Etnis Melayu Sambas, yang beragama Islam, peleburan dari berbagai suku/etnis yaitu Melayu, turunan campuran Tionghoa-Dayak Islam, Bugis, Jawa, dan lain-lain yang beragama Islam dan mengidentifikasi diri sebagai etnis Melayu.
2. Etnis Tionghoa Tankaw (Tao, Budha dan Konfusius), katolik, Protestan merupakan turunan cina perantauan dan campuran Tionghoa Dayak yang awal mengidentifikasikan diri dalam etnis Tionghoa (turunan China perantauan di Indonesia)
3. Etnis Dayak, beragama Katolik, Protestan, Islam dan sebagian kecil animisme mengidentifikasi diri dengan suku Dayak (penduduk asli Kalimantan)
Berdasarkan sekelumit informasi dan gambaran sejarah tentang pertautan persaudaraan dan persinggungan agama yang dianut masing-masing etnis di Sambas, diharapkan dapat meningkatkan persatuan dan harmonisasi etnis di Sambas dalam menyongsong masa depan, era globalisasi.
Bahwa perayaan Festival Cap Go Meh di Singkawang Februari 2008, merupakan perayaan awal Tiongkok yang sudah ada sejak lebih dari 250 tahun dirayakan di Sambas, telah beradaptasi dan berasimilasi dengan budaya, tradisi dan ritual tradisional animisme setempat, merupakan festival pesta rakyat terbesar di dunia dan fenomena menarik atau perspektif budaya dan pariwisata dunia.
Literatur :
1. Mary Somers Heidhues, Golddiggers, Farmers, and Traders in The Chinesse District of West Kalimantan Indonesia, SouthEast Asia Program Publications (Southeast Asia Program), Cornell University, Ithaca, New York, 20032. Yuan Bing Ling, Chinesse Democracies, A Study Of the kongsis of West Borneo, (Research School of Asia, Africa and America Indian Studies, Universiteit Leiden, The Netherland, 2000).3. Prof. Kong Yuan Zi Hi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia No. ISBN : 974-694-8397.4. Prof. Kong Yuan Zi Hi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, Yayasan Obor Indonesia ISBN : 979-461-361-4.5. Mo Parlindungan, Tuanku Rao, LKIS 2007 ISBN : 979-97853-3-2.6. H.J, de Graaf, dkk, Cina Muslim, PT. Tiara Wacana Yogya, 1998 ISBN : 979-8120-75-2.7. Pabali H. Musa, Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan, STAIN Pontianak Press 2003 ISBN : 979-97063-3-5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar